Apakah dalam hukum acara yang berlaku pada perkara kepailitan dimungkinkan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian, selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan maupun jawaban?
Dalam perkara kepailitan, prinsipnya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata biasa yang digunakan dalam persidangan pada peradilan umum.
Kemungkinan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan merupakah hal yang jamak terjadi. Karena bisa saja dokumen-dokumen pembuktian yang diajukan di awal ternyata belum cukup membuktikan bagi pengadilan untuk menjatuhkan permohonan pailit terhadap Termohon sehingga mengakibatkan Pemohon menambah atau melengkapi alat bukti baru. Apalagi dalam permohonan pailit yang mengacu pada hukum acara perdata, beban pembuktian ada pada Pemohon.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.
Kecuali ditentukan lain maksudnya adalah ada prinsip-prinsip permohonan kepailitan yang diatur secara khusus sebagaimana diatur dalam UU KPKPU misalnya antara lain:
1.Permohonan harus diajukan oleh seorang Advokat;[1]
2.Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;[2]
3.Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan;[3]
4.Putusan pernyataan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.[4]
Proses Persidangan Perkara Kepailitan
Namun proses agenda persidangan sendiri prinsipnya sama dengan agenda persidangan di peradilan umum dalam perkara perdata yaitu: Pembacaan Gugatan/Permohonan Pailit -> Jawaban -> Replik -> Duplik -> Bukti surat dan/atau saksi (Pembuktian) -> Kesimpulan -> Pembacaan Putusan (tidak ada proses mediasi).
Kekhasan khusus dalam praktik yang membedakan permohonan pailit dengan perkara perdata biasa adalah adanya pengajuan dokumen-dokumen bukti awal pada saat pendaftaran permohonan pernyataan pailit. Misalnya: Anggaran Dasar, Perjanjian yang membuktikan adanya utang, dan lain sebagainya.
Praktik ini menurut kami karena disebabkan adanya ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU KPKPU yang menyatakan:
Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
Pasal tersebut seolah-olah telah memberikan kewenangan kepada Panitera untuk menentukan apakah perkara permohonan pailit dapat diterima atau ditolak melalui pemeriksaan dokumen-dokumen yang dilampirkan bersamaan dengan permohonan pailit. Walaupun belakangan pasal tersebut telah dicabut keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 071/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 001-002/PUU.III/2005, namun kebiasaan ini masih tetap dilakukan dan pemeriksaan dokumen akan juga dilakukan oleh Majelis Hakim sebelum memasuki agenda persidangan pembuktian termasuk hal-hal yang berkaitan dengan legal standing pemohon pada awal persidangan.
Terhadap pertanyaan Anda mengenai apakah dimungkinkan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan, menurut kami hal tersebut jamak terjadi. Karena bisa saja dokumen-dokumen pembuktian yang diajukan di awal ternyata belum cukup membuktikan bagi pengadilan untuk menjatuhkan permohonan pailit terhadap termohon sehingga Pemohon perlu untuk menambah atau melengkapi alat bukti baru. Apalagi dalam permohonan pailit yang mengacu pada hukum acara perdata, beban pembuktian ada pada Pemohon.[5] Keadaan yang sering terjadi adalah terkait pembuktian adanya kreditur lain yang diajukan sebagai bukti untuk memenuhi syarat kepailitan oleh Pemohon, ternyata kreditur tersebut sudah dilunasi hutangnya oleh Termohon kemudian Pemohon mencari kreditur lain sebagai bukti untuk menjatuhkan pernyataan pailit terhadap Termohon.
[5] Pengaturan Hukum Acara Perdata pada Pasal 163 HIR (Herziene Inlandsch Reglement) yang berbunyi “Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”, yang artinya siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan