4 Alasan RUU Penguatan Sektor Keuangan Mesti Dikaji Ulang
Berita

4 Alasan RUU Penguatan Sektor Keuangan Mesti Dikaji Ulang

Banyak masalah di sektor keuangan akibat pandemi bersifat temporer, sehingga tidak perlu direspons dengan kebijakan permanen.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi mengatakan bahwa DPR siap membahas RUU tersebut pada Agustus–September 2021. Meski rutin melakukan focus group discussion (FGD) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dia mengungkapkan bahwa DPR belum menerima draft resmi revisi RUU RPPSK dari pemerintah.

“Kami sudah melakukan FGD untuk menerima masukan masukan dan solusi yang terbaik bagaimana penguatan sektor kelembagaan, kemudian format pengawasan, idealisme, supaya sektor ekonomi tumbuh dan tenaga kerja bisa tumbuh dan lain sebagainya,” ungkap dia seperti dilansir Antara.

Fathan juga mengatakan agar para pihak di sektor keuangan tak perlu khawatir jika nantinya RUU Sektor Keuangan akan mengurangi independensi Bank Indonesia karena pemerintah bertujuan untuk memperkuat sektor keuangan sebagai langkah penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan kelembagaan penguatan koordinasi dan kebijakan mekanisme penanganan permasalahan perbankan.

“Kita masih bisa merumuskan dan kekhawatiran bahwa independensi akan kita kurangi akan mengganggu kebebasan Bank Indonesia, bisa dihilangkan. Sekali lagi, independensi harus dibarengi dengan akuntabilitas, independensi harus dibarengi dengan responsibility,” katanya.

Sementara, Mantan Gubernur BI, Soedrajad Djiwandono, mengkhawatirkan usulan RUU sektor keuangan yang masuk Program Legislasi Nasional 2021 akan menjadikan Bank Indonesia kembali ke sistem sentralistik. “Yang sepertinya ditunjukkan untuk menjadi sentralistik adalah pengawasan perbankan terpadu. Kenapa tidak pengawasan keuangannya saja yang dipadukan,” ujar Soedrajad.

Drajad, panggilan akrabnya, menjelaskan pada saat dia menjabat sebagai Gubernur BI tahun 1993-1998, Bank Indonesia tidak independen, bahkan diberi pangkat menteri. “Kondisi yang tidak independen saat itu, sangat memberatkan tugas. Karena harus meyakinkan seluruh dewan moneter dan dewan moneter sendiri yang menentukan kebijakan moneter, bukan Bank Indonesia, harus tunduk kepada presiden karena ketuanya seorang menteri,” ungkap Drajad.

Bank Indonesia yang tidak lagi independen, dikhawatirkan kinerja bank sentral dan seluruh sistem keuangan yang sebenarnya ingin diselamatkan pemerintah justru membahayakan kinerja bank sentral.

Tags:

Berita Terkait