Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Nasional pembaruan Agraria (KNPA) menilai pelaksanaan reforma agraria yang digulirkan pemerintah masih jauh dari harapan. Anggota KNPA perwakilan Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, mengatakan klaim pemerintah menjalankan agenda reforma agraria masih bertumpu pada sertifikasi tanah. Koreksi atas ketimpangan tanah dan penyelesaian agraria tidak ditempatkan sebagai tujuan utama.
Wahyu melihat tidak ada kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk memimpin pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria melalui Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri ATR/BPN selama ini gagal mencapai tujuan dan pelaksanaan reforma agraria sebagaimana mandat Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
“Sampai sekarang GTRA tak kunjung menerbitkan SK hasil penyelesaian konflik maupun penetapan redistribusi tanah objek reforma agraria (TORA) untuk rakyat,” kata Wahyu dikonfirmasi, Rabu (28/9/2022).
Baca Juga:
- Peringati Hari Tani, Koalisi Desak Pemerintah dan DPR Jalankan 6 Mandat Pembaruan Agraria
- 3 Alasan KPA Desak Revisi Perpres Reforma Agraria
- Ada Beragam Definisi dan Modus Mafia Tanah, Simak Penjelasannya!
Sampai sekarang, GTRA tidak kunjung mengeluarkan SK-SK hasil penyelesaian konflik ataupun penetapan redistribusi TORA untuk rakyat. Indikator kinerja GTRA secara nasional hanya berdasarkan banyaknya pembentukan GTRA di provinsi dan kabupaten, rapat koordinasi, dan jumlah bidang sertipikat.
Kantor Staf Presiden (KSP) yang diberikan mandat politik oleh Presiden RI pada tahun 2019 dan 2020 untuk mengatasi kebuntuan, mendorong terobosan penyelesaian, dan koordinasi antar kementerian/lembaga dengan gerakan rakyat justru banyak bertindak kontraproduktif di lapangan.
Menurut Wahyu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) gagal menjalankan reforma agraria dengan target 4,1 juta hektar. Dia mencatat dalam waktu 8 tahun terakhir yang dilakukan KLHK malah langkah mundur karena Menteri LHK dan jajarannya seolah enggan untuk berdialog dengan masyarakat yang tergabung dalam gerakan reforma agraria. Masyarakat malah diarahkan untuk menerima skema Perhutanan Sosial dan dipaksa mengakui klaim hutan negara.