Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura
Berita

Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura

Koalisi menilai penandatanganan BIT Indonesia-Singapura merupakan bentuk pengingkaran komitmen Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan kepentingan rakyat yang telah dibuat sejak 2013.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura
Hukumonline

Di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali lalu, Kamis (11/10) lalu terjadi penandatanganan perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaty) untuk melindungi investasi Singapura yang akan masuk ke Indonesia. Bersamaan dengan penandatanganan Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia-Singapura tersebut, mereka juga menandatangani MoU Kerjasama Investasi terkait dengan rencana investasi di beberapa sektor seperti Industri 4.0, wisata, fintech, dan pendidikan.

 

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi, mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi BIT dengan Singapura tersebut karena penandatanganan perjanjian ini mengancam kedaulatan negara. Koalisi juga menuntut agar Pemerintah Indonesia untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik secara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif.

 

Penandatanganan BIT Indonesia-Singapura dipandang sebagai bentuk kemunduran dari kebijakan yang pernah diambil Pemerintah Indonesia pada 2013 untuk mereview dan menghentikan pemberlakuan BIT. Sejak tahun 1960-an hingga 2013, Indonesia memiliki sebanyak 63 BIT. Dampak dari BIT tersebut, Indonesia sudah punya paling tidak 8 pengalaman kasus gugatan investor asing terhadap Indonesia dengan nilai klaim ganti rugi oleh investor asing mencapai miliaran dolar.

 

“Pemerintah telah mengingkari komitmennya kepada rakyat, padahal secara sadar diakuinya jika BIT dan ISDS (Investor to State Dispute Settlement) itu merugikan Indonesia bahkan dapat mengesampingkan konstitusi dan undang-undang nasional,” tegas Direktur Eksekutif Indoensia for Global Justice, Rachmi Hertanti dalam keterangan tertulisnya kepada hukumonline.

 

Beberapa kasus tersebut antara lain, gugatan Rafat Ali Rizvi (BIT Indonesia-UK), Churcill Mining (BIT Indonesia-UK), Newmont (BIT Indonesia-Belanda), India Metal Ferro Alloys (BIT Indonesia-India), dan Oleovest Ltd (BIT Indonesia-Singapura). Bahkan, potensi kasus Indonesia ke depan jika BIT tidak dihentikan dapat meluas ke berbagai sektor seperti kesehatan, di mana beberapa negara sudah pernah mengalami gugatan investor asing terkait isu kesehatan dan obat.

 

ISDS sendiri adalah sebuah instrumen yang mengatur dengan gugatan investor asing terhadap negara. Perjanjian BIT Indonesia-Singapura memuat ISDS sebagai salah satu instrument Bank Dunia dalam memberikan perlindungan maksimum kepada investor asing di bawah Konvensi ICSID.

 

Baca:

 

Koalisi menilai, penandatanganan yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali tersebut, semakin memperlihatkan nuansa keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan impunitas korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat.

 

“Menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan perlindungan korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat,terang Koordinator KRuHA, Muhammad Reza.

 

Di dalam perjanjian tersebut berisi banyak ketentuan yang mewajibkan Indonesia untuk memberikan perlindungan maksimum kepada investor asing dengan tidak melakukan hal-hal seperti: tindakan diskriminasi, tindakan nasionalisasi, serta tindakan pengamanan terhadap investor asing. Jika Indonesia melanggar, maka Indonesia dapat digugat oleh investor asing di arbitrase internasional sebagaimana kebiasaan perjanjian investasi internasional yang memuat mekanisme sengketa investasi yang memberi mekanisme kepada investor asing untuk dapat menggugat negara di arbitrase internasional.

 

Dampak dari BIT ini sudah disadari oleh Pemerintah Indonesia di mana perjanjian investasi internasional yang memuat mekanisme ISDS ini telah menghilangkan kedaulatan negara (policy space) dan fungsi negara dalam menjalankan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia terhadap rakyatnya. Dampak buruk mekanisme sengketa ISDS ini tidak berhenti hanya di situ. Melainkan berdampak terhadap kerugian keuangan negara ketika harus digugat untuk mengganti potensi kerugian yang diderita oleh korporasi asing yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

 

Contohnya, Churcill Mining pada 2012 menggugat negara sebesar AS$1,2 miliar atau setara dengan Rp14,4 triliun. Nilai itu dalam APBN 2015 hampir setara dengan alokasi subsidi untuk pangan yakni senilai Rp18,9 triliun. Pada tahun 2013, Pemerintah Indonesia sudah pernah memutuskan untuk melakukan review dan menghentikan pemberlakuan BIT dengan beberapa negara dengan alasan BIT menimbulkan persoalan besar terhadap praktik pembuatan kebijakan negara.

 

Ada 4 alasan dasar saat ini yang membuat Indonesia melakukan review dan penghentian terhadap BIT. Pertama, tidak adanya keseimbangan antara perlindungan investor dan kedaulatan nasional. Kedua, ketentuan dalam perjanjian memberikan perlindungan dan hak-hak yang luas bagi investor asing, membiarkan negara tuan rumah tidak memiliki ruang kebijakan (policy space) untuk menerapkan tujuan pembangunannya sendiri.

 

Ketiga, permasalahan yang ditimbulkan dari Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (ISDS), telah meningkatkan eksposur Indonesia terhadap klaim investor dalam arbitrase internasional. Keempat, ketentuan perjanjian investasi internasional berpotensi mengesampingkan undang-undang nasional .

 

Alfred De Zayas, dari UN Independent Experts on the Promotion of Demoractic and Equitable International Order, menyatakan dampak dari implementasi mekanisme ISDS telah mencegah negara dari melaksanakan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia. De Zayas memastikan bahwa hilangnya ruang kebijakan negara karena adopsi mekanisme ISDS bertentangan dengan Pasal 28 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

 

Oleh karena itu, Koalisi menilai penandatanganan BIT Indonesia-Singapura merupakan bentuk pengingkaran komitmen Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan kepentingan rakyat yang telah dibuat sejak 2013.

 

Baca:

 

Luput dari Perhatian Publik

Penandatanganan BIT Indonesia-Singapura pada 11 Oktober 2018 sangat luput dari perhatian publik, bahkan parlemen sekalipun. Tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT dirasa telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terlebih, BIT Indonesia-Singapura disahkan atau diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR RI sehingga fungsi kontrol rakyat/DPR atas kekuasaan Pemerintah telah hilang, sehingga hal ini telah bertentangan dengan konstitusi.

 

Padahal di dalam Pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945 mengatur, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

 

Perjanjian BIT memiliki dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, khususnya ketika negara tidak lagi memiliki ruang yang bebas untuk membuat kebijakan dan tersandera dengan kepentingan korporasi asing akibat ancaman gugatan ISDS. Bahkan, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof.Hikmahanto Juwana, dalam keterangannya sebagai ahli di Sidang Perkara NO.13/PUU-XVI/2018 terhadap Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi, ikut memperkuat pentingnya Persetujuan DPR terkait BIT. Gugatan ini diajukan pada 14 Februari 2018 oleh Koalisi ini.

 

Dalam keterangannya, Hikmahanto menyatakan, “dalam implementasinya BIT yang ditandatangani Pemerintah ternyata telah memiliki dampak yang tidak lagi hanya sekadar teknis. Tetapi ada konsekuensi yang fundamental dari BIT di mana investor dapat menggugat negara di arbitrase internasional dan berpotensi dikalahkan oleh investor. Sehingga perjanjian tersebut perlu dilakukan secara hati-hati oleh negara, dan dapat dipahami bahwa BIT memang sebuah perjanjian yang secara substansi tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional yang tidak memerlukan persetujuan DPR”.

 

Oleh karena dampaknya yang sangat fundamental bagi kehidupan rakyat maka sudah sepatutnya BIT Indonesia-Singapura harus mendapatkan persetujuan rakyat. “Jika tidak, maka BIT Indonesia-Singapura harus dianggap inkonstitusional,” tutup Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) David Sitorus.

Tags:

Berita Terkait