Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan Kejaksaan
Utama

Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan Kejaksaan

Pemohon diminta menjelaskan alasan permohonan dan keterkaitannya dengan original intent ketiga undang-undang yang diujikan tersebut mengenai kewenangan penyidikan jaksa dalam tindak pidana tertentu.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi terhadap tiga undang-undang (UU) yakni Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan); Pasal 39 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor); Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa “atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (29/3/2023). Permohonan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh M. Jasin Jamaluddin yang berprofesi sebagai advokat.

Melalui Imelda, Reza Setiawan, Putra Simatupang selaku kuasa hukumnya, pemohon mendalilkan sejumlah pasal yang diujikan terkait kewenangan penyidikan kejaksaan dalam tindak pidana tertentu dianggap inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Putra Simatupang dalam persidangan menguraikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower.

"Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan,” ujar Putra Simatupang dalam sidang pendahuluan seperti dikutip laman MK.

Baca Juga:

Pemohon menilai pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam proses penyidikan. Sebab, proses prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Dengan tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.

“Apabila permintaan tersebut diabaikan oleh jaksa sebagai penyidik dan diajukan oleh jaksa prapenuntutan yang jelas-jelas satu instansi dengan penyidik, tentunya hal tersebut akan diabaikan oleh jaksa prapenuntutan, karena tidak ada lembaga lain yang mengontrol dan memastikan proses penyidikan berjalan dengan baik serta mencerminkan keadilan bagi pencari keadilan. Ini dialami pemohon selaku kuasa dari tersangka yang disidik oleh jaksa telah menjadi korban kesewenang-wenangan jaksa selaku penyidik,” ujar Putra Simatupang di hadapan Majelis Panel yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah selaku anggota.

Dalam kasus konkrit, Putra mengatakan pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu, pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun, permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan jaksa prapenuntutan.

Untuk itu, pemohon dalam petitum permohonan meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Pemberantasan Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa “atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan atau kejaksaan” UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan terkait legal standing agar diuraikan lebih rinci apabila pemohon (selaku advokat) pernah mengalami kasus konkrit sebagaimana pasal atau frasa yang diujikan. Sehingga permohonan yang diajukan dapat meyakinkan hakim atas keberlakuan norma benar-benar telah merugikan pemohon.

Terkait Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai pasal batu uji dalam pengujian norma ini, kata Daniel, diharapkan pemohon dapat menjelaskan dalam alasan permohonan dihubungkan dengan norma ketiga undang-undang yang diujikan tersebut.

“Pemohon belum menguraikan original intent dari undang-undang yang diujikan, setidaknya politik hukumnya. Coba diuraikan (original intent) ketiga norma yang diujikan ini, karena setiap undang-undang punya karakteristiknya. Jadi, elaborasi original intent-nya,” saran Daniel.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar pemohon pada bagian kedudukan hukum selaku advokat perlu dielaborasi hubungan advokat sebagai penegak hukum dengan keberadaan isu-isu yang terkait pengujian beberapa pasal tersebut. Hakim Konstitusi Suhartoyo pun meminta agar pemohon mempertajam argumentasi anggapan kerugian konstitusional pemohon baik aktual maupun potensial.

Tags:

Berita Terkait