Ramai Isu Jual Beli Restorative Justice, Begini Klarifikasi Kejaksaan Agung
Utama

Ramai Isu Jual Beli Restorative Justice, Begini Klarifikasi Kejaksaan Agung

Penerapan keadilan restoratif dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II memiliki 4 batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan RI No.15 Tahun 2020.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Dr. Ketut Sumedana. Foto: Istimewa
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Dr. Ketut Sumedana. Foto: Istimewa

Belum lama ini, ramai dibincangkan publik perihal dugaan praktik jual beli keadilan restoratif atau restorative justice. Seperti dilansir sejumlah media, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin (16/1/2023) kemarin, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyampaikan harapannya terhadap implementasi restorative justice tidak bergeser menjadi keadilan transaksional.

Untuk itu, LPSK mendorong evaluasi penerapan keadilan restoratif oleh aparat penegak hukum di lingkungan kepolisian, kejaksaan, sampai dengan Mahkamah Agung. Salah satu kasus yang menerapkan keadilan restorative justice yang salah disebut-sebut terjadi pada kasus pelecehan sesama pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) pada 2019 silam.

Disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, pada 2020 para pelaku malah dibebaskan dengan alasan restorative justice. Isu ini kemudian kembali mencuat dan mendulang atensi besar masyarakat hingga membuat pihak Kejaksaan Agung RI akhirnya buka suara.

“Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung perlu memberi klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan keadilan restoratif demi penegakan hukum humanis, tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Dr. Ketut Sumedana dalam keterangan resmi yang diterima Hukumonline, Selasa (17/1/2023).

Baca Juga:

Ia menuturkan diterapkannya keadilan restoratif berpijak atau merujuk pada Peraturan Kejaksaan RI No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif serta ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP. Beleid tersebut menyebutkan Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Dalam hal ini, kewenangan yang dimaksud tertuang dalam Pasal 30C huruf C dan Pasal 34A UU No.11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan). Pasal 30C huruf c UU Kejaksaan berbunyi “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait