Guru besar ilmu hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia, Profesor Suparji Ahmad, menyebutkan pihak-pihak yang menghalangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memproses hukum para tersangka korupsi, termasuk dalam kasus Lukas Enembe bisa dikenakan pidana.
"Kalau ada bukti menghalangi bisa dikenakan pasal 21 UU Tipikor," kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta.
Sementara itu, terkait tudingan ada motif politik di balik penetapan Gubernur Papua, Lukas Enembe, sebagai tersangka menurut dia merupakan hal biasa. "Tudingan itu biasa. Karena gubernur pejabat yang dipilih karena kesepakatan parpol pengusung dan pendukungnya, serta dipilih rakyat," kata dia.
Baca Juga:
- Urgensi Memperkuat Penegakan Hukum dalam Korupsi Jasa Keuangan
- KPK Sebut Kasus Dugaan Korupsi Lukas Enembe Tak Bisa Diselesaikan Melalui Hukum Adat
Penyidik menetapkan Enembe sebagai tersangka dugaan kasus suap dan gratifikasi. Status tersebut diumumkan pada 14 September. Di tengah proses hukum, muncul isu politisasi terhadap Enembe.
KPK sudah dua kali melayangkan surat panggilan pemeriksaan Enembe dan tidak hadir dengan alasan sakit. KPK juga memanggil anak dan istri dia pun tidak hadir.
Ahmad juga berharap opini politisasi kasus Enembe tidak mempengaruhi proses hukum di KPK.
Sementara, Kepala Bidang Pemberitaan KPK Ali Fikri menyampaikan perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi (TPK) suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di Provinis Papua yang melibatkan Gubernur Papua, Lucas Enembe. Ali menyatakan pihaknya telah selesai melaksanakan penggeledahan di beberapa tempat di wilayah Jabotabek.
"Tempat dimaksud yaitu perusahaan swasta dan rumah kediaman dari pihak-pihak yang terkait dengan perkara yang satu di antaranya adalah rumah kediaman tersangka LE. Selanjutnya ditemukan dan diamankan bukti-bukti antara lain berbagai dokumen aliran uang yang diduga kuat menerangkan perbuatan tersangka LE," ujar Ali di Bogor, Jumat (14/10).
Selanjutnya, analisis dan penyitaan kembali dilakukan atas temuan bukti-bukti tersebut untuk kemudian menjadi kelengkapan berkas perkara penyidikan.
Jadwal Ulang
KPK menjadwalkan ulang pemanggilan terhadap Asisten Direktur Marina Bay Sands (MBS) Casino Singapore Defry Stalin untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang menjerat Lukas Enembe.
"Informasi yang kami terima, yang bersangkutan belum bisa hadir. Tim penyidik akan menjadwalkan pemanggilan ulang terhadap saksi," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu.
Sedianya, saksi Defry diperiksa KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (11/10), dalam penyidikan kasus dugaan suap gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
KPK belum mengumumkan secara resmi soal status tersangka Lukas Enembe dalam kasus tersebut. Publikasi konstruksi perkara dan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka akan dilakukan saat telah dilakukan upaya paksa baik penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka.
KPK juga telah memanggil Lukas Enembe untuk diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK, Jakarta. Namun, ia tidak memenuhi panggilan dengan alasan masih sakit. KPK berharap Lukas Enembe dapat memenuhi panggilan berikutnya.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir atau membekukan rekening Lukas Enembe senilai Rp71 miliar.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan pembekuan atau penghentian transaksi keuangan terkait kasus Lukas Enembe itu dilakukan terhadap 11 penyedia jasa layanan keuangan, seperti asuransi dan bank. Ivan menambahkan mayoritas transaksi keuangan itu dilakukan oleh anak Lukas Enembe.
Dia menyebutkan 12 hasil analisis PPATK itu telah diselidiki sejak 2017 dengan beragam variasi kasus, di antaranya setoran tunai dan setoran melalui pihak-pihak lain, yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah.
"Sebagai contoh, salah satu hasil analisis itu adalah terkait dengan transaksi setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi senilai 55.000.000 dolar atau Rp560 miliar. Itu setoran tunai dilakukan dalam periode tertentu, bahkan ada dalam periode pendek. Setoran tunai itu dilakukan dengan nilai fantastis 5.000.000 dolar," kata Ivan Yustiavandana.