Aturan Moratorium Perizinan Hutan Perlu Dirombak dan Diperkuat
Berita

Aturan Moratorium Perizinan Hutan Perlu Dirombak dan Diperkuat

Substansi pengaturan moratorium hutan mesti diubah sedemikian rupa demi mencegah eksploitasi hutan dan kerusakan lingkungan. Moratorium hutan perlu dituangkan dalam regulasi minimal setingkat Perpres.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kayu dari hutan Indonesia. Foto: SGP
Ilustrasi kayu dari hutan Indonesia. Foto: SGP

Sejak tahun 2011, pemerintah melakukan moratorium (penghentian) terhadap izin baru di wilayah hutan. Moratorium itu dilaksanakan setiap dua tahun, pertama melalui Perpres No.10 Tahun 2011, kemudian diperpanjang lewat Perpres No.6 Tahun 2013, Perpres No.8 Tahun 2015, dan terakhir Perpres No.6 Tahun 2017. Perpres ini, intinya menyelesaikan berbagai upaya untuk penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun, faktanya moratorium ini tidak dapat menahan laju pelepasan kawasan hutan.

 

Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi menghitung sejak moratorium bergulir sejak tahun 2011, sedikitnya ada 9 juta hektar pelepasan hutan melalui berbagai perizinan. Bahkan, periode 2009-2019, tercatat ada 11 juta hektar penerbitan izin untuk Hutan Tanam Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

 

Melihat kondisi itu, Zenzi menilai moratorium hutan tidak cukup dengan menggunakan Inpres. Menurutnya, perlu regulasi yang lebih kuat, minimal Peraturan Presiden (Perpres), sehingga aturan ini tidak hanya mengikat secara internal, tapi juga eksternal. “Pengaturan moratorium harus berbentuk regulasi yang bisa dijadikan landasan penegakkan hukum,” kata Zenzi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (16/7/2019).

 

Zenzi juga mendesak pemerintah merevisi peraturan perundang-undangan lain yang tidak selaras dengan moratorium hutan antara lain PP No.104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Beleid ini, menurut Zenzi berkontribusi terhadap proses pelepasan kawasan hutan. Terkait Perpres No.6 Tahun 2017, Zenzi mengusulkan agar pengecualian dilakukan terhadap izin untuk perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria.

 

Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menilai Inpres Moratorium Hutan ini tidak efektif melindungi hutan dari kerusakan karena tidak memuat konsekuensi hukum jika dilanggar. Dia merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan penerbitan atau melakukan moratorium secara permanen izin bagi korporasi yang memanfaatkan hutan. Perlindungan hutan, terutama gambut harus ditingkatkan dan evaluasi terhadap perizinan yang telah diterbitkan.

 

“Setiap perpanjangan Inpres Moratorium Hutan, kami tidak pernah melihat adanya evaluasi yang dilakukan pemerintah,” kritiknya.

 

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware melihat salah satu kelemahan Inpres ini yakni tidak ada kewajiban pemerintah untuk melakukan evaluasi izin yang sudah ada. Absennya ketentuan ini memberi celah terjadinya pelanggaran dan ketidakpatuhan perusahaan yang mengantongi izin konsesi lahan hutan.

 

Selain memperkuat regulasi moratorium hutan, Inda mengusulkan pemerintah untuk mewajibkan pemegang konsesi melakukan pemulihan. Selain itu, harus ada kewajiban pemerintah untuk melakukan evaluasi perizinan. “Tanpa evaluasi dan pemulihan, maka regulasi yang diterbitkan nanti tidak akan berdampak signifikan terhadap perlindungan hutan,” paparnya.

 

Project Manager Kemitraan-Partnership, Abimanyu Sasongko Aji menilai moratorium hutan ini layaknya dijadikan permanen setelah 5 tahun Inpres No.10 Tahun 2011 diterbitkan. Moratorium ini penting untuk melindungi hutan yang masih tersisa. Pelaksanan moratorium juga harus memperhatikan akses masyarakat terhadap hutan melalui skema perhutanan sosial dan hutan adat. “Moratorium ini penting bagi pemerintah untuk melihat kebijakan apa yang diperlukan untuk melindungi hutan,” usulnya.

 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya menghitung Inpres Moratorium Hutan ini sudah masuk tahun kesembilan dan 4 kali perpanjangan. Sayangnya, setiap kali perpanjangan tidak ada penguatan dari substansi. Tahun 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut Teguh berjanji akan memperkuat Inpres dan pembahasannya melibatkan masyarakat sipil. Tapi sampai sekarang janji itu belum terpenuhi.

 

Evaluasi terhadap pelaksanan Inpres ini, menurut Teguh sangat mendesak untuk dilakukan. Sejak 2011 sampai sekarang Teguh mencatat sedikitnya ada 19 Surat Keputusan pelepasan kawasan hutan, dan 9 diantaranya untuk perkebunan sawit. Absennya pengawasan dan penegakkan hukum merupakan titik lemah kebijakan moratorium hutan. “Pemerintah harus melibatkan masyarakat, substansi kebijakan ini harus diperkuat dan tidak memberi celah untuk eksploitasi hutan,” tegasnya.

 

Teguh menghitung ada 43,3 juta hutan sekunder yang tidak dilindungi pemerintah melalui regulasi. Selama ini Inpres Moratorium Hutan memberi celah penerbitan izin. Belum lagi proyek vital nasional dan ketahanan pangan dikecualikan dari kebijakan moratorium ini. Lemahnya peraturan moratorium hutan ini akan membuka kesempatan korporasi untuk melancarkan kepentingannya atas nama lingkungan hidup.

Tags:

Berita Terkait