Bentuk Dukungan Politik dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan
Terbaru

Bentuk Dukungan Politik dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan

DPR mendukung selama EBT aman dan murah untuk masyarakat.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Anggota Komisi VII DPR,  Mulyanto. Foto: WIL
Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto. Foto: WIL

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) hingga saat ini masih terus bergulir. Anggota Komisi VII DPR,  Mulyanto, menyatakan dukungan DPR secara penuh untuk keadilan listrik dan energi terbarukan.

“Dukungan dari DPR sangat nyata sejauh ini dan mendukung bagaimana keadilan listrik dapat diperoleh,” ujar Mulyanto dalam webinar energi terbarukan pada Rabu (23/11).

RUU EBT merupakan RUU inisiatif dari DPR, khususnya Komisi VII dan telah disetujui sebagai dalam sidang paripurna DPR pada 14 Juni 2022 yang lalu.

Baca Juga:

Energi terbarukan yang termasuk nuklir ini, DPR mendukung selama aman dan murah untuk masyarakat. DPR mengajukan RUU ini untuk kita bahas dan kasih payung hukum agar energi baru dan terbarukan bisa kokoh secara regulasi,” lanjutnya.

RUU EBT memuat beberapa poin pokok, salah satunya adalah soal harga energi baru dan energi terbarukan. Hal ini  termuat dalam Pasal 54 RUU EBT dengan memperitmbangkan nilai keekonomian dan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha penyedia energi dan badan usaha milik swasta dan atau perusahaan listrik milik negara sebagai pembeli.

“Kami mendukung selama harga listrik terjangkau bagi masyarakat. Kita berpikir bagaimana energi listrik ini harus tetap terjangkau dan inilah yang menjadi poin terkait RUU ini,” katanya.

Energi bersih diikuti dengan harga jual yang mahal. DPR berharap secara teknologi memungkinkan sumber daya alam menghasilkan energi yang bersih, tetapi tetap murah dan ini diakui sebagai sebuah tantangan.

Selain persoalan harga, dalam Pasal 9 RUU EBT memuat bahwa sumber energi baru terdiri dari beberapa macam yaitu nuklir, hydrogen, gas metana batubara, batu bata tercairkan, batubara tergaskan, dan sumber energi baru lainnya.

Kemudian, pada Pasal 26 RUU EBT menyebutkan bahwa penyediaan energ baru oleh pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan daerah pedesaan dengan menggunakan sumber energi baru setempat.

“Sebanyak lebih dari seratus desa di Indonesia Timur masih tidak mendapatkan listrik, walaupun dapat tetapi tidak 24 jam. Sementara itu sisi Jawa dan Sumatera surplus, sehingga ada gap dan tidak adil,” jelasnya.

Mulyanto menuturkan bahwa RUU EBT merupakan bentuk dari isu keadilan. Menurutnya, keadilan yang tidak merata perlu didukung berbagai upaya untuk mewujudkan keadilan masyarakat.

PLN sebagai pengusaha ketenagalistrikan yang dikuasai negara diharapkan tetap memberikan pelayanan yang kokoh, kuat, dan melayani masyarakat dengan harga yang terjangkau, handal, dan bersih.

Mulyanto melanjutkan, Komisi VII DPR RI telah mengirimkan draft RUU EBT kepada pemerintah dan berharap pada saat perhelatan G20 yang lalu dapat langsung disepakati.

“Sudah lewat 60 hari dari pengajuan draft RUU ini kepada pemerintah, seharusnya sudah wajib disepakati sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi belum ada tanggapan dari pemerintah dan masa prolegnas juga sudah habis,” tuturnya.

Ia menyangsikan perbedaan kepentingan yang ada di dalam sektor dan lembaga pemerintah yang berbeda pendapat, tetapi tetap harus melaksanakan aturan yang sesuai dengan mekanisme konstitusi.

“Dalam UUD 1945 DPR memiliki kekuasaan dalam membentuk UU, tetapi kalau pelaksanaannya sangat rentan ini yang perlu kita tata agar lebih tertib agar kita menghasilkan undang-undang yang betul bermanfaat dan benar-benar berkualitas,” tambahnya.

Terakhir ia mengungkapkan terkait dukungan politik DPR dalam hal ini, selama menguntungkan masyarakat dan Indonesia, akan terus didukung oleh DPR RI khususnya terkait RUU EBT

Tags:

Berita Terkait