BPOM Lakukan Sosialisasi Bahaya BPA dalam AMDK Kepada Konsumen
Terbaru

BPOM Lakukan Sosialisasi Bahaya BPA dalam AMDK Kepada Konsumen

Sambil menunggu peraturan pelabelan berproses, BPOM terus melakukan sosialisasi untuk menjelaskan ke masyarakat bahwa BPA memang sudah menjadi perhatian terkait masalah kesehatan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
BPOM Lakukan Sosialisasi Bahaya BPA dalam AMDK Kepada Konsumen
Hukumonline

Bahan Bisphenol A (BPA) yang terkandung pada kemasan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) merupakan bahan yang membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Guna melindungi konsumen, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merancang regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan label galon bebas BPA.

Meski rancangan regulasi ini mendapat penolakan dari pelaku usaha, namun BPOM dan beberapa pakar dan organisasi lingkungan terus melakukan sosialisasi bahaya BPA dalam AMDK.  Sejumlah aktivis yang resah melihat perlawanan untuk menjegal regulasi pelabelan BPOM, kemudian bergerak membangun kampanye ‘Gerakan Percepatan Labelisasi BPA Kemasan AMDK’. Gerakan ini dimotori organisasi lingkungan seperti Net Zero Waste Management Consortium, Jejak Sampah, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) dan Koalisi Pejalan Kaki.

“Galon polikarbonat itu jumlahnya 96 persen dari seluruh galon yang beredar di Indonesia,” kata Sondang Widya Estikasari, Direktur Pengawasan Produksi Pangan Olahan BPOM dalam keterangan pers, Rabu (5/10).

Baca Juga:

Artinya, masyarakat tak banyak diberi pilihan selain galon polikarbonat berbahan BPA. Sondang menekankan kembali bahaya BPA pada kesehatan manusia, dari berpotensi menyebabkan infertilitas, gangguan autisme, hiperaktif, bahkan obesitas. Dengan globalisasi dan temuan pada jurnal-jurnal kesehatan terbaru, banyak informasi yang dulu belum ditemukan, sekarang semakin bermunculan.

Hasil pengawasan BPOM sendiri menunjukkan bahwa tren migrasi BPA dari galon polikarbonat yang beredar sudah masuk tahap mengkhawatirkan.

“BPOM juga harus meningkatkan perhatiannya. Migrasi BPA yang sudah masuk tahap mengkhawatirkan itu ditemukan di hampir 47 persen dari produk di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi yang kita sampling,” jelas Sondang.  

Tags:

Berita Terkait