Promes tidak di-endors
Dalam laporan hasil investigasi audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas jaminan BLBI yang ada di BPPN, salah satunya disebutkan bahwa sebagian besar jaminan yang tidak mempunyai nilai komersial adalah jaminan berupa surat sanggup atau promes dari penerima BLBI yang tidak di-endors oleh bank lain.
Atas hal tersebut, BI menjelaskan bahwa sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, dikatakan bahwa BI memberikan kredit likuiditas dengan cara antara lain menerima aksep. Dan jaminan atas pemberian BLBI adalah berupa promes bank.
Jaminan promes bank ini, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku pada waktu itu, tidak memerlukan endorsement dari bank lain. Yang memerlukan endorsement dari bank adalah promes nasabah.
Jika dilihat lebih jauh, dalam praktek perjanjian antara BPPN dengan pemegang saham pengendali bank yang dikenal dengan Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) nampak bahwa tidak ada kesepakatan mengenai nilai aset yang diserahkan kepada BPPN, maka BPPN juga meminta pihak pemegang saham pengendali bank untuk menyerahkan promes sebagai suatu penutup kekurangan jaminan tanpa perlu di-endors pihak lain.
Sementara itu, BI membantah jaminan berupa jaminan pribadi (personal guarantee/PG) dan jaminan perusahaan (corporate guarantee/CG) adalah jaminan yang cacat hukum dan tidak ada nilainya. Pasalnya, jaminan berupa PG dan CG diatur dalam KUHPerdata dalam bab tentang penanggungan jaminan. Pihak yang berwenang menyatakan sah atau tidaknya suatu PG atau CG adalah badan peradilan.
Dalam pelaksanaannya, memang peraturan yang antara lain dikeluarkan oleh BI mengenai Fasilitas Diskonto (fadis) I dan fadis II juga tidak mensyaratkan adanya jaminan tambahan selain aksep atau promes bank.
Aturan tersebut berjalan terus sampai pada April 1998 dengan dikeluarkannya aturan fadis dimana selain promes bank dipersyaratkan pula adanya jaminan tambahan sebesar 100 persen dari nilai fasilitas.