Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP
Utama

Catatan ICW Atas Pengaturan Tipikor yang Bermasalah dalam RKUHP

Seperti hukuman badan bagi pelaku korupsi dan denda dikurangi, bertentangan dengan putusan MK, hingga korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Selanjutnya, Pasal 610 ayat (2) RKUHP merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU 31/1999, nyaris serupa dengan ketentuan lain yang hukuman ditujukan terhadap penerima suap pun mengalami penurunan. Biila sebelumnya maksimal 5 tahun penjara, turun menjadi 4 tahun penjara. Sementara hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.

Kurnia berpandangan khusus sanksi denda yang menjadi salah satu pidana pokok terbilang rendah dalam draf RKUHP. Pasalnya denda maksimal yang menjadi ganjaran terhadap pelaku hanya Rp2 miliar. Berbeda halnya dengan UU sektoral yang bersifat khusus. Seperti UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ataupun UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mencapai Rp10 miliar

“Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, semestinya pidana denda dapat ditingkatkan,” usulnya.

Kedua, parsial memberatkan hukuman. Menurutnya, mengacu data KPK, tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu. Setidaknya selama rentang 15 tahun terakhir sebanyak 791 perkara. Hal tersebut menandakan praktik kejahatan tipikor masih merajarela di Indonesia. Karenanya bentuk evaluasi terhadap kondisi tersebut dengan mengubah UU Pemberantasan Tipikor.

Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik tindak pidana suap karena sanksi pemidanaan rendah yang malah tak menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Hanya saja, dalam draf RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, seperti Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama tanpa disertai pemberatan, hanya maksimal hukuman 3 tahun penjara.

“Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera,” kritiknya.

Ketiga, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, pada penjelasan Pasal 607 RKUHP menyebutkan yang dimaksud "merugikan keuangan negaraadalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Merujuk definisi itu, bagi pembentuk UU pihak yang berwenang menghitung kerugian keangan negara hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Tags:

Berita Terkait