Catatan Kritis terhadap Tindak Pidana Lingkungan dalam RKUHP
Berita

Catatan Kritis terhadap Tindak Pidana Lingkungan dalam RKUHP

Mulai menghilangkan kekhasan tindak pidana lingkungan hidup, tidak jelasnya penerapan asas ultimum remedium dan premium remedium, pidana tambahan, jenis sanksi pemidanaan, dimuatnya unsur melawan hukum, hingga tidak membedakan pertanggungjawaban korporasi dengan pengurusnya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Catatan lain, penerapan pidana tambahan berupa penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup berupa penutupan usaha dan/atau kegiatan, kewajiban melaksanakan kelalaian dan perbaikan akibat tindak pidana. Selain itu, penerapan sanksi minimum dan maksimum yang bertujuan menghindari disparitas.

 

“Kekhasan ketentuan pidana dalam UU 32 Tahun 2009 seolah diabaikan dalam penyusunan materi RKUHP. Ini menunjukan pelemahan terhadap UU No. 32 Tahun 2009 dan bersifat absurd untuk diimplementasikan,” sebutnya.

 

Belum lagi, tak semua jenis tindak pidana lingkungan yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009 diadopsi dalam RKUHP. “Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP jauh lebih sempit ketimbang UU No. 32 Tahun 2009. Ini menimbulkan ketidakjelasan dan pertanyaan."

 

“Selain itu, ada ketidakefektifan terlihat dalam Pasal 375, 376, 377, dan 378 RKUHP yang mengatur kelpaan. Ini mestinya cukup dirumuskan dalam satu pasal saja seperti dalam ketentuan Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009,” lanjutnya.

 

Manajer Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Even Sembiring menilai rumusan sanksi tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP itu sebagai bentuk pelemahan penegakan hukum lingkungan sekaligus mencegah kerusakan dan perlindungan lingkungan.

 

Menurutnya, perumusan sanksi pidana lingkungan hidup dalam RKUHP lebih longgar ketimbang rumusan sanksi pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009. Sebab, dalam RKUHP, menggunakan rumusan sanksi sistem alternatif berupa pidana kurungan badan atau denda. Sedangkan UU 32 Tahun 2009 menggunakan sistem kumulatif yakni kurungan badan dan denda secara bersamaan (sekaligus).

 

“Parahnya lagi, RKUHP tidak menggunakan ukuran pemidanaan dengan sistem minimal khusus, yang konsekuensi penjatuhan pidana dengan ancaman pidana maksimal khusus bisa dijatuhkan serendah-rendahnya. Ini tentu dapat menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait