Celah Konstitusi Dapat Lahirkan Tirani Baru
Fokus

Celah Konstitusi Dapat Lahirkan Tirani Baru

Tahun 2001 ini menjadi tahun yang pantas dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia, sama halnya dengan tahun 1998 lalu. Cuma bedanya, kalau pada 1998 lalu Presiden Soeharto lengser akibat desakan dari mahasiswa dan masyarakat. Sementara pada 2001 ini, Presiden Abdurrahman Wahid tumbang akibat desakan para wakil rakyat lewat Sidang Istimewa MPR.

Oleh:
AWi/APr
Bacaan 2 Menit
Celah Konstitusi Dapat Lahirkan Tirani Baru
Hukumonline

Tahun 2001 ini Indonesia benar-benar menjadi  tertawaan masyarakat intenasional. Walaupun, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang ikut menertawakannya. Bagaimana tidak, para elite negeri ini ternyata tidak mampu menyelesaikan kemelut di antara presiden dan parlemennya. Akibatnya, muncullah sebuah fenomena baru dalam khazanah ilmu tata negara: sebuah republik dengan dua presiden.

Apa boleh buat, perilaku politik para elite di Indonesia memang harus diakui masih-meminjam istilah Gus Dur-masih Taman Kanak-Kanak. Padahal, republik ini berpotensi menjadi negara demokratis ketiga terbesar di dunia ini. Residu pemerintahan otoriter selama empat dekade telah membuat kegamangan berpolitik secara sehat di alam demokrasi terasa begitu tinggi.

Presiden yang berasal dari partai minoritas "semestinya berkoalisi dengan partai yang lain" justru sibuk menyebar benih permusuhan di parlemen. Sementara parlemen sendiri juga larut dalam kekonyolan serupa. Konflik itu akhirnya berujung pada Sidang Istimewa MPR, yang diputuskan DPR lewat Sidang Paripurna DPR pada 30 Mei 2001 lalu.

Superioritas kelembagaan

Sidang Istimewa diagendakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrachman Wahid. Namun,  konstelasi itu pada prakteknya justru bias antara fungsi kontrol yang dilaksanakan legislatif dengan kuatnya superioritas kelembagaan.

Pasalnya pada kasus memorandum kedua DPR, mayoritas fraksi DPR tidak lagi sekadar membahas kasus Buloggate dan Bruneigate seperti yang dipersoalkan dalam memorandum pertama. Akan tetapi, sudah lebih jauh menilai kinerja Presiden Abdurrahman Wahid. Padahal itu merupakan kewenangan MPR.

Artinya, DPR sebenarnya sudah merambah domain MPR. Hal ini karena pada DPR terletak keanggotaannya yang rangkap dengan keanggotaan MPR. Kalau di MPR, DPR dapat meyakinkan bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden.

Tuduhan pelanggaran haluan negara merupakan politicking mayoritas kekuatan politik di DPR yang berkonspirasi untuk menjatuhkan Presiden. Lihat pula keputusan MPR yang meminta percepatan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang  berlangsung pada medio Agustus tahun ini. 

Tags: