Chain of Custody berbasis Blockchain dalam Penanganan Bukti Digital
Kolom

Chain of Custody berbasis Blockchain dalam Penanganan Bukti Digital

Kecanggihan fitur yang dimiliki Blockchain, dinilai potensial untuk dimanfaatkan dalam penanganan bukti digital.

Bacaan 5 Menit

Sedangkan kriptografi adalah teknik yang digunakan untuk melakukan enkripsi data/informasi yang tercatat/tersimpan di dalam blok dengan cara mengubahnya dengan kode unik yang tersusun dari angka/huruf secara acak yang disebut hash, melalui hash tersebut blok-blok di dalam jaringan dapat saling terhubung (Georgios Dimitropulos,The Law of Blockchain,2020,Page 1127&1128).

Apabila ada pihak lain (stranger/hacker) yang mencoba mengubah isi data pada salah satu blok, maka blok-blok lain yang terhubung akan mendeteksi dan memvalidasinya melalui pencocokan hash dengan konsep konsensus, hasilnya data yang akan digunakan (valid) adalah data mayoritas dari seluruh blok yang terhubung.

Melalui fitur tersebut, sebagaimana dilansir dari Hukumonline, Blockchain menjadi suatu platform yang memungkinkan setiap pencatatan/penyimpanan/perubahan data dapat terlihat oleh pihak lain yang terhubung dalam Blockchain. Di sisi lain, dilengkapi kriptografi membuat keamanan data Blockchain semakin kuat, sehingga membuat data tidak mudah dimanipulasi. Karena mekanisme pencatatan/penyimpanan data dalam Blockchain bersifat transparent dan immutable.

Blockchain-Based CoC

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, di Indonesia belum terdapat pengaturan lebih lanjut tentang prosedur penanganan bukti digital. Terlebih masih menjadi perdebatan tentang kedudukan bukti digital yang dapat berdiri sendiri ataukah perlu dukungan bukti lain.

Namun jika melihat karakteristiknya, bukti digital diklasifikasikan sebagai bukti bisu (stille getuigen) sehingga memerlukan bukti lain (saksi, ahli, terdakwa ataupun surat) untuk menjelaskannya. Dengan demikian bukti digital lebih dipandang sebagai barang bukti (Kemitraan & LeIP,Naskah Akademik Kerangka Hukum Perolehan,Pemeriksaan & Pengelolaan Bukti Elektronik,2019,Halaman 20-21,43–48).

Oleh karena itu secara umum penanganan bukti digital merujuk pada KUHAP, yaitu Pasal 32–46 (penggeledahan, penyitaan) dan Pasal 75 ayat (1) (berita acara). Sedangkan secara khusus, patut mengadopsi pedoman di beberapa negara di atas sebagai best practices, sehingga dapat memenuhi ketentuan Pasal 6 UU ITE. Salah satu elemen penting yang harus diperhatikan adalah Chain of Custody. CoC yang tersedia dengan baik harus memenuhi prinsip (Silvia Bonomi et al.,B-CoC for Evidences Management in Digital Forensics,2018,Page 1&2):

  • Integrity (bukti utuh, tidak rusak/diubah);
  • Traceability (seluruh proses penanganan bukti digital tercatat lengkap);
  • Authentication & Verifiability (setiap pihak yang berkontak dengan bukti digital adalah yang berkepentingan dan terverifikasi);
  • Security (penanganan bukti digital tidak mengakibatkan rusak/berubah);
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait