Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?
Utama

Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?

Baik force majeur maupun asas rebus sic stantibus menghilangkan ikatan pacta sunt servanda bagi kedua pihak dalam kontrak. Namun kuncinya bukan pada penetapan status bencana nasional oleh Pemerintah.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi force majeur sebagai dasar tidak memenuhi kontrak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi force majeur sebagai dasar tidak memenuhi kontrak. Ilustrator: HGW

Presiden Joko Widodo kembali menambah status darurat atas wabah Covid-19 dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Penetapan kali ini mengacu UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebelumnya wabah Covid-19 dinyatakan sebagai darurat kesehatan masyarakat sesuai ketentuan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Penyebaran wabah virus corona sangat berdampak pada sejumlah aspek kehidupan manusia. Terutama pada aktivitas bisnis. Muncul kekhawatiran akan menimbulkan efek bola salju pada aspek lain seperti pemutusan hubungan kerja. Lantas, apa artinya bagi kontrak-kontrak di dunia bisnis?

(Baca juga: Penyebaran Covid-19 Ditetapkan Sebagai Bencana Nasional).

Apakah status bencana nasional ini alasan mutlak untuk tidak menjalankan isi kontrak dengan dalih force majeur? Bisakah setidaknya berlindung pada doktrin rebus sic stantibus? Ahmad Fikri Assegaf, Partner Assegaf Hamzah & Partners dan Ketua Bidang Studi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Akhmad Budi Cahyono memberikan penjelasan kepada hukumonline.

“Dasar pemaaf dalam kontrak itu ada dua. Pertama adalah force majeur dan kedua soal perubahan keadaan yang biasanya disebut hardship,” kata Budi mengawali penjelasan. Istilah hardship itu dikenal juga di Eropa sebagai doktrin rebus sic stantibus.

1.Force Majeur

Inti dari force majeur adalah tidak bisa terlaksananya prestasi karena terhalang suatu keadaan yang memaksa. “Bicara force majeur adalah soal halangan melaksanakan prestasi. Dalam keadaan normal dia bisa diminta ganti rugi, tapi dalam keadaan memaksa yang bukan kelalaian maka dimaafkan,” Budi melanjutkan.

Doktrin force majeur digunakan saat prestasi sama sekali tidak bisa dipenuhi. Berkaitan dengan bencana nasional kali ini, Budi yakin tidak serta merta segala jenis kontrak otomatis terhalang pemenuhan prestasinya. “Ternyata ada industri yang dapat pengecualian untuk tetap bisa beroperasi,” ujarnya.

(Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata).

Ahmad Fikri Assegaf berpendapat yang sama dalam sudut pandang praktisi. “Penetapan status ini tidak otomatis sebagai pernyataan force majeure atas seluruh perjanjian. Harus melihat kondisi dan ketentuan yang spesifik dalam setiap perjanjian,” Fikri menjelaskan.

Ia melihat penetapan darurat bencana kali ini adalah prosedur lanjutan sesuai UU Penanggulangan Bencana. Tujuannya mengaktifkan ruang gerak yang lebih luas bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjalankan tugasnya. Misalnya terkait pengadaan barang dan jasa serta pengerahan personel.

Fikri menolak status resmi bencana nasional sebagai dasar sapu jagad untuk wanprestasi dengan klaim force majeur. Inti dari force majeur harus dilihat pada kondisi nyata halangan melaksanakan kewajiban dalam perjanjian. Bukan pada penetapan resmi status darurat bencana oleh Pemerintah selaku otoritas.

(Baca juga: Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19).

Pihak dalam perjanjian hanya dapat menyatakan kondisi force majeure jika memang terhalang untuk menjalankan kewajibannya. “Walaupun pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam, tidak secara otomatis sama dengan terjadinya force majeure,” kata Fikri.

Fikri juga menyinggung klausa Material Adverse Change (MAC) yang bisa dicantumkan dalam kontrak. MAC yang mengaitkan bencana dengan perubahan signifikan kemampuan keuangan perusahaan terkait isi perjanjian bisa membatasi klaim force majeure.

Fikri mengakui penetapan bencana nasional nonalam ini mungkin relevan bagi perjanjian yang menyepakati penetapan status bencana oleh Pemerintah sebagai dasar force majeure. Sehingga tidak melihat lagi kemampuan pihak yang relevan untuk melaksanakan perjanjian. “Rasanya pasal force majeure seperti itu cukup langka,” ujarnya.

2. Rebus Sic Stantibus

“Nah kalau hardship terkait doktrin rebus sic stantibus itu masih bisa dilakukan namun berubah kondisi menjadi sangat memberatkan,” Budi melanjutkan penjelasannya. Ia membedakannya dengan force majeure yang benar-benar membuat pelaksanaan prestasi terhalang.

Kondisi sangat memberatkan itu bisa dalam bentuk bertambahnya biaya dari perhitungan awal atau terjadinya kondisi sia-sia yang tetap merugikan para pihak. “Kondisi hardship arahnya membenarkan renegosiasi kontrak. Berbeda dengan force majeure yang membebaskan dari gugatan ganti rugi,” kata Budi.

(Baca juga: Darurat Covid-19! Ayo Kenali Ragam Status Darurat dalam Hukum Indonesia Serta Dampaknya).

Baik asas force majeur maupun rebus sic stantibus menghilangkan ikatan pacta sunt servanda bagi kedua pihak dalam kontrak. The UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICC) mengatur kondisi hardship/rebus sic stantibus ini. Perlu diingat bahwa Indonesia telah meratifikasinya melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata).

UNIDROIT Principles memasukkan hardship dalam kategori saat pelaksanaan perjanjian. Sedangkan force majeure adalah tidak terlaksanannya perjanjian,” Budi menambahkan. Ia mengingatkan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku saat ini baru mengatur force majeur secara tegas. “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belum mengatur hardship. Itu masih baru. Tapi kita bisa gunakan dengan dasar prinsip iktikad baik,” kata Budi.

Tampak bahwa hardship/rebus sic stantibus ini adalah menekankan terjadinya perubahan  keseimbangan kontrak secara mendasar. Baik karena biaya pelaksanaan maupun nilai pelaksanaan yang akan diterima berubah secara dratis. Akibatnya menimbulkan kerugian bagi pihak dalam perjanjian.

Penelusuran hukumonline menemukan rebus sic stantibus bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “as long as things remain the same”. Doktrin ini lebih sering dikenal dalam dalam pembahasan hukum internasional publik. Namun sejarahnya menunjukkan bahwa rebus sic stantibus sudah dikenal dalam hukum perdata sebelum kode sipil Napoleon disusun.

Doktrin ini sempat menghilang namun kembali digunakan pasca Perang Dunia I oleh para ahli hukum di Eropa.  Mereka mencari dasar pembenaran atau teori hukum yang tepat untuk memberi kelonggaran bagi pemberi janji. Sebabnya perjanjian menjadi sangat sulit dilaksanakan akibat perubahan keadaan.

Perubahan itu terjadi karena perang yang cukup lama membawa kerusakan parah serta kerugian di semua bidang. Berbagai kontrak menjadi sulit ditunaikan sesuai kesepakatan awal. Selain pada UPICC, saat ini konsep dalam doktrin rebus sic stantibus setidaknya bisa ditemukan di The Principles of European Contract Law, UNCITRAL Model Law, serta The Vienna Convention to The Law of Treaties of 1969.

Tags:

Berita Terkait