Covid-19: Regulasi Setengah Hati
Kolom

Covid-19: Regulasi Setengah Hati

​​​​​​​Perujukan kepada UU Wabah Penyakit Menular dan UU Penanggulangan Bencana hanya membuat pengaturan penanggulangan penyebaran Covid-19 simpang siur.

Bacaan 2 Menit

 

Penetapan status tersebut dilakukan dengan memuat indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b. kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Menurut Pasal 51 (1) UU Penanggulangan Bencana penetapan Status Keadaan Darurat Bencana dilakukan oleh Presiden untuk skala nasional, Gubernur untuk skala provinsi dan Bupati/ Walikota untuk skala kabupaten/kota.

 

Pasal 26 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana memberikan hak kepada setiap orang yang terkena bencana untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, di mana dalam ketentuaan Pasal 48 dikatakan dengan tegas, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan dasar.

 

Selain itu ketentuan Pasal 52 UU Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelamatan dan evakuasi korban dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya: a. pencarian dan penyelamatan korban; b. pertolongan darurat; dan/atau c. evakuasi korban. Pasal 53 UU Penanggulangan Bencana menegaskan kembali bahwa pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan: a. kebutuhan air bersih dan sanitasi; b. pangan; c. sandang; d. pelayanan kesehatan; e. pelayanan psikososial; dan f. penampungan dan tempat hunian.

 

Hal tersebut diulang kembali dalam Pasal 54 UU Penanggulangan Bencana bahwa penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan Pasal 55 ayat (1) UU Penanggulangan Bencana memberikan perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, yang terdiri atas: a. bayi, balita, dan anak-anak; b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui; c. penyandang cacat; dan d. orang lanjut usia, yang dilakukan dengan memberikan prioritas berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.

 

Dari penjelasan di atas dalam konteks UU Penanggulangan Bencana ini, ada tiga hal yang kurang tepat jika dijadikan dasar penerbitan PP PSBB.

  1. Pertama adalah keadaan darurat yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana ini adalah Status Keadaan Darurat Bencana dan bukan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Keppres Nomor 11 Tahun 2020.
  2. Kedua dalam UU Penanggulangan Bencana sudah jelas dan tegas bahwa sudah ada Lembaga khusus yang dibentuk untuk melakukan tugas yang diamanatkan. Lembaga tersebut adalah BNPB. Pada awalnya peran BNPB tampaknya masih sesuai dengan UU Penanggulangan Bencana. Namun dengan diterbitkannya Keppres Nomor 7 Tahun 2020 sebagaimana diubah dengan dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), tanpa adanya rujukan kepada BNPB menimbulkan pertanyaan peran BNPB selanjutnya. Perhatikan juga bahwa PP PSBB dan Permenkes PSBB secara tegas menunjuk pada peran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam pengambilan keputusan terkait PSBB tanpa melibatkan BNPB.
  3. Ketiga dalam UU Penanggulangan Bencana, Presiden, Gubernur maupun Bupati/ Walikota berhak menentukan Status Keadaan Darurat Bencana sesuai skalanya; namun demikian sampai saat ini tidak ada satupun pernyataan yang muncul sehubungan dengan hal tersebut. Apakah dengan demikian berarti ketentuan dalam UU Penanggulangan Bencana tidak dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi ini, mengingat bahwa Keppres 11/2020 menyebutkan darurat kesehatan masyarakat.

 

Undang-undang ketiga atau yang terakhir yang akan disoroti adalah UU Karantina Kesehatan. Rumusan kata-kata “darurat kesehatan masyarakat” dapat ditemukan dalam UU Karantina Kesehatan. Dalam UU Karantina Kesehatan Pasal 1 butir 2 dikatakan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait