Covid-19: Regulasi Setengah Hati
Kolom

Covid-19: Regulasi Setengah Hati

​​​​​​​Perujukan kepada UU Wabah Penyakit Menular dan UU Penanggulangan Bencana hanya membuat pengaturan penanggulangan penyebaran Covid-19 simpang siur.

Bacaan 2 Menit

 

Pasal 10 ayat (1) UU Karantina Kesehatan menyatakan bahwa Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pasal 10 ayat (3) UU Karantina Kesehatan menyatakan lebih lanjut bahwa sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Hingga dikeluarkannya Keppres 11/2020, tidak pernah ada keputusan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang jenis penyakit dan factor risiko yang dapat menimbulkan keadaan darurat kesehatan masyarakat tersebut, sehingga dengan demikian keluarnya Keppres 11/2020 ini patut dipertanyakan landasan materilnya.

 

Rumusan Pasal 11 (1) UU Karantina Kesehatan menegaskan bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Jadi dalam hal ini yang bertanggung jawab penuh dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat adalah Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan lebih lanjut dari keadaan darurat kesehatan masyarakat ini adalah dilakukan dalam bentuk karantina.

 

Dalam UU Karantina Kesehatan dikenal istilah Kekarantinaan Kesehatan, Karantina, Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Selain itu juga dikenal istilah Isolasi dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tidak ada rumusan yang jelas mengenai pelaksanaan dari masing-masing jenis karantina, baik karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan PSBB, namun demikian dalam setiap perumsan ke-4 hal tersebut senantiasa ditempatkan secara beurutan.

 

Apakah ini berarti yang pertama kali harus dilakukan adalah karantina rumah, baru kemudian karantina wilayah, selanjutnya karantina rumah sakit dan yang terakhir adalah PSBB? Banyak perdebatan yang dapat terjadi, sehingga penjelasan yang benar harus dikeluarkan oleh perumus undang-undang ini. Yang jelas setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.  

 

Karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit maupun PSBB merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dengan demikian berarti setelah dinyatakannya keadaan darurat kesehatan masyarakat, maka yang dapat dan perlu dilakukan adalah karantina, baik karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan PSBB.

 

Pada karantina rumah, hal tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Karantina Kesehatan, yang hingga saat ini belum ada. Pejabat Karantina Kesehatan merupakan pejabat fungsional di bidang kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang Kekarantinaan Kesehatan. Karantina rumah dikenakan terhadap seluruh isi penghuni rumah yang dikarantina. Selain yang terkena kasus, penghuni rumah dilarang keluar rumah selama waktu yang telah ditetapkan oleh Pejabat Karantina Kesehatan. Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.

 

Sedangkan dalam Karantina Wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.

 

Dalam Karantina Rumah sakit, maka rumah sakit yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Selama dalam tindakan Karantina Rumah Sakit, kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

 

Selanjutnya dalam konteks Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Jadi dalam hal hendak dilakukan pembatasan kegiatan tersebut yaitu: peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, maka dilakukan PSBB.

 

Sebagai sanksi pidana Pasal 93 UU Karantina Kesehatan menyatakan bahwa Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000.

 

Uraian yang diberikan di atas menunjukkan bahwa UU Karantina Kesehatan tidak juga dilaksanakan dengan konsisten. Jika memang penyelesaian Covid-19 ini ingin ditangani dengan pengaturan yang lebih jelas, maka dapat dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya yang diperlukan agar UU Karantina Kesehatan dapat dilaksanakan, mengatur pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pengangkatan Pejabat Karantina Kesehatan, dan melakukan penegakan sanksi pidana Pasal 93 UU Karantina Kesehatan bagi pelanggarnya.

 

Perujukan kepada UU Wabah Penyakit Menular dan UU Penanggulangan Bencana hanya membuat pengaturan penanggulangan penyebaran Covid-19 simpang siur. Untung saja Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya tidak jadi dirujuk sama sekali. Semoga tulisan ini bermanfaat dan memperjelas arahan kebijakan dan regulasi yang hendaknya dibuat dan diberlakukan agar pandemi Covid-19 dapat segera dihentikan di bumi tercinta ini.

 

*)Gunawan Widjaja adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Kepala Bidang Advokasi dan Pengembangan Hukum Bidang Kesmas PP IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

 

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait