Dasar Hukum Asuransi dan Sejumlah Ketentuan yang Berlaku
Terbaru

Dasar Hukum Asuransi dan Sejumlah Ketentuan yang Berlaku

Dasar hukum asuransi saat ini diatur dalam UU Perasuransian. Ada 18 bab dengan 92 pasal yang membahas sejumlah ketentuan perihal asuransi, simak isinya berikut ini.

Tim Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi dasar hukum asuransi. Sumber: pexels.com
Ilustrasi dasar hukum asuransi. Sumber: pexels.com

Dasar hukum asuransi di Indonesia saat ini diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2014 atau UU Perasuransian. Undang-undang ini menggantikan UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam UU Perasuransian, terdapat 92 pasal yang dikelompokkan dalam 18 bab dengan rangkuman isi sebagai berikut.

Bab I: Ketentuan Umum

Bab pertama membahas ketentuan umum seputar dasar asuransi. Dalam bab ini, yang perlu dipahami adalah sejumlah definisi yang dimuat dalam Pasal 1 UU Perasuransian. Definisi tersebut dapat dijadikan landasan untuk memahami dasar hukum asuransi, dasar hukum asuransi jiwa, dan dasar hukum asuransi syariah.

Pertama, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

  1. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Kedua, asuransi syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:

  1. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Ketiga, usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Bab II: Ruang Lingkup Usaha Perasuransian

Bab kedua membahas ruang lingkup usaha perasuransian, meliputi penyelenggaraan yang dapat dilakukan perusahaan asuransi. Adapun ketentuan yang diatur adalah sebagai berikut.

  1. Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum dan usaha reasuransi untuk risiko perusahaan umum lain.
  2. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa, termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.
  3. Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha reasuransi.

Adapun dasar hukum asuransi syariah terkait ruang lingkup usaha asuransi ini sama halnya dengan asuransi umum. Perusahaan asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum syariah dan usaha reasuransi syariah untuk risiko perusahaan umum syariah lain.

Kemudian, perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa syariah, termasuk lini usaha anuitas berdasarkan prinsip syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan prinsip syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya, perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan usaha reasuransi syariah.

Bab III: Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian

Bab ketiga membahas dasar hukum asuransi berupa bentuk badan hukum asuransi dan kepemilikan perusahaan perasuransian. Pasal 6 ayat (1) UU Perasuransian menerangkan bahwa ada tiga bentuk badan hukum penyelenggaraan usaha perasuransian, yakni perseroan terbatas (PT), koperasi, dan usaha bersama.

Diterangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perasuransian, perusahaan perasuransian dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia; dan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia bersama dengan warga negara asing atau badan hukum asing.

Bab IV: Perizinan Usaha

Bab keempat menerangkan dasar hukum asuransi terkait perizinan usaha yang harus dimiliki oleh perusahaan perasuransian. Perizinan tersebut meliputi kewajiban mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum menjalankan usaha. 

Selanjutnya, tidak hanya izin untuk kantor pusat, sebagaimana diterangkan Pasal 10 ayat (1) UU Perasuransian, perusahaan perasuransian juga wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Bab V: Penyelenggaraan Usaha

Bab kelima membahas dasar hukum asuransi terkait penyelenggaraan perusahaan perasuransian. Ada sejumlah ketentuan yang dimuat dalam bab ini, di antaranya:

  1. Perusahaan perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1) UU Perasuransian).
  2. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menetapkan paling sedikit satu pengendali. Setiap pengendali yang ditetapkan wajib dilaporkan kepada OJK. (Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU Perasuransian).
  3. Pengendali tersebut wajib bertanggung jawab atas kerugian perusahaan (Pasal 15 UU Perasuransian).
  4. Perusahaan perasuransian wajib melaporkan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada OJK. Penyampaian laporan tersebut dapat dilakukan melalui sistem data elektronik (Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Perasuransian).
  5. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, dan perusahaan pialang asuransi wajib menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (Pasal 32 ayat (1) UU Perasuransian).

Bab VI: Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama

Bab keenam berisi tentang pengelolaan perusahaan perasuransian berbentuk koperasi atau usaha bersama. Pasal 35 UU Perasuransian menerangkan ketentuan sebagai berikut.

  1. Perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah berbentuk koperasi atau usaha bersama hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi kepada anggotanya.
  2. Setiap anggota dari perusahaan asuransi ini wajib menjadi pemegang polis dari perusahaan yang bersangkutan.
  3. Keanggotaan tersebut berakhir apabila anggota meninggal dunia, anggota tidak lagi memiliki polis asuransi yang bersangkutan selama enam bulan berturut-turut, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab VII: Peningkatan Kapasitas Asuransi, Asuransi Syariah, Reasuransi, dan Reasuransi Syariah dalam Negeri

Bab ketujuh menerangkan ketentuan bahwa perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri.

Dalam Penjelasan Pasal 36 UU Perasuransian, diterangkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan agar benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penanggung dan/atau penanggung ulang.

Kemudian, untuk mendorong peningkatan tersebut, pemerintah dan OJK dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

  1. Membentuk perusahaan reasuransi baru.
  2. Menggabungkan beberapa BUMN yang bergerak di bidang perasuransian dan menugaskan perusahaan hasil gabungan menjadi perusahaan reasuransi.
  3. Memberikan fasilitas untuk pembentukan pool atau konsorsium asuransi untuk risiko tertentu.
  4. Menghindari pengenaan pajak berganda terhadap industri perasuransian.

Bab VIII: Program Asuransi Wajib

Bab kedelapan menerangkan sejumlah ketentuan program asuransi wajib. Pasal 39 UU Perasuransian menerangkan bahwa program asuransi wajib harus diselenggarakan secara kompetitif. Dasar hukum asuransi dalam ketentuan ini menerangkan bahwa pengaturan program tersebut paling sedikit memuat hal sebagai berikut.

  1. cakupan kepesertaan;
  2. hak dan kewajiban tertanggung atau peserta;
  3. premi atau kontribusi;
  4. manfaat atau santunan;
  5. tata cara klaim dan pembayaran manfaat atau santunan;
  6. kriteria penyelenggara;
  7. hak dan kewajiban penyelenggara; dan
  8. keterbukaan informasi.

Bab IX: Perubahan Kepemilikan, Penggabungan, dan Peleburan

Bab kesembilan ini menerangkan dasar hukum asuransi akan persetujuan OJK terhadap perubahan kepemilikan. Setiap perubahan kepemilikan, baik karena peleburan atau penggabungan, wajib mendapat persetujuan dari OJK.

Bab X: Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan

Bab kesepuluh membahas pembubaran, likuidasi, dan kepailitan perusahaan perasuransian. Ketentuan Pasal 42 UU Perasuransian menerangkan bahwa penghentian kegiatan perusahaan perasuransian wajib melaporkan kepada OJK dengan terlebih dahulu menyelesaikan seluruh kewajibannya. Setelah menyelesaikan seluruh kewajibannya, OJK mencabut izin usaha yang bersangkutan. Kemudian, Pasal 43 UU Perasuransian menerangkan bahwa setelah izin usahanya dicabut, perusahaan wajib menghentikan kegiatan usahanya.

Bab XI: Perlindungan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta

Bab kesebelas membahas perlindungan terhadap pemegang polis. Dasar hukum asuransi dalam bab ini mewajibkan perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah menjadi peserta penjaminan polis. Kemudian, perusahaan perasuransian juga diwajibkan menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa.

Bab XII: Profesi Penyedia Jasa Bagi Perusahaan Perasuransian

Bab kedua belas membahas dasar hukum asuransi terkait profesi penyedia jasa bagi perusahaan perasuransian. Pasal 55 ayat (1) UU Perasuransian menerangkan bahwa profesi tersebut terdiri atas:

  1. konsultan aktuaria;
  2. akuntan publik;
  3. penilai; dan
  4. profesi lain sesuai ketetapan OJK.

Bab XIII: Pengaturan dan Pengawasan

Bab ketiga belas membahas dasar hukum asuransi terkait pengaturan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian. Dalam bab ini, diterangkan bahwa pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian dilakukan oleh OJK. Sehubungan dengan itu, OJK harus mengupayakan terjadinya persaingan usaha yang sehat di bidang ini.

Baca:

Bab XIV: Asosiasi Usaha Perasuransian

Bab keempat belas membahas kewajiban setiap perusahaan perasuransian untuk menjadi anggota salah satu asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya. Kemudian, terkait hal ini, OJK dapat menugaskan atau mendelegasikan wewenang kepada asosiasi usaha perasuransian dalam rangka pengaturan atau pengawasan usaha perasuransian.

Bab XV: Sanksi Administratif

Bab kelima belas membahas sejumlah sanksi administratif terhadap pelanggaran UU Perasuransian. Pasal 71 ayat (2) UU Perasuransian menerangkan bahwa sanksi administratif yang diberikan kepada orang atau perusahaan asuransi yang melanggar dasar asuransi ini adalah sebagai berikut.

  1. Peringatan tertulis.
  2. Pembatasan kegiatan usaha.
  3. Larangan untuk memasarkan produk.
  4. Pencabutan izin usaha.
  5. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi pialang dan agen.
  6. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi profesi penyedia jasa.
  7. Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi.
  8. Denda administratif.
  9. Larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau jabatan yang setara pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama; larangan menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian.

Bab XVI: Ketentuan Pidana

Bab keenam belas mengatur sejumlah ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar dasar hukum asuransi dalam UU Perasuransian. Beberapa ketentuan pidananya antara lain:

Setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha asuransi syariah, usaha reasuransi, atau usaha reasuransi syariah tanpa izin usaha dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 miliar (Pasal 73 ayat (1) UU Perasuransian).

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp5 miliar (Pasal 75 UU Perasuransian).

Setiap orang yang menggelapkan premi atau kontribusi dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp5 miliar (Pasal 76 UU Perasuransian).

Bab XVII: Ketentuan Peralihan

Bab ketujuh belas mengatur ketentuan peralihan sejak dasar hukum asuransi ini diundang-undangkan. Diterangkan bahwa perusahaan perasuransian, perusahaan agen asuransi, dan perusahaan konsultan aktuaria yang telah mendapatkan izin usaha pada saat diundang-undangkannya UU Perasuransian dinyatakan telah mendapat izin usaha dan tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya.

Bab XVIII: Ketentuan Penutup

Bab kedelapan belas membahas ketentuan penutup dari UU Perasuransian sebagai dasar hukum asuransi yang berlaku saat ini. Pasal 90 UU Perasuransian menerangkan bahwa sejak dasar hukum asuransi ini mulai berlaku, UU 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

UU Perasuransian mengatur sejumlah dasar hukum asuransi di Indonesia. Seperti definisi, ruang lingkup usaha, bentuk badan hukum, penyelenggaraan usaha, sanksi administratif ketentuan pidana dan lain sebagainya. Dasar hukum lainnya dapat disimak dalam Pusat Data Peraturan dan Peraturan Terlengkap.

Baca berita Hukumonline lainnya di sini!

Tags:

Berita Terkait