Dekan FH Unpar Sebut 3 “Dosa” Penyebab Mahasiswa Gagal Ujian
Utama

Dekan FH Unpar Sebut 3 “Dosa” Penyebab Mahasiswa Gagal Ujian

Perlu dihindari agar terhindar dari malapetaka saat masa ujian tiba.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Liona Nanang Supriatna. Foto: Hol
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Liona Nanang Supriatna. Foto: Hol

Liona Nanang Supriatna, Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) menjelaskan setidaknya ada dua kesalahan fatal penyebab mahasiswanya gagal di ujian. Kesalahan ini layak disebut “dosa” yang sering diremehkan dan tidak disadari sama sekali oleh mahasiswa hukum.

“Seandainya mahasiswa perhatikan, nilainya pasti bisa mencapai seratus,” kata Liona mantap. Liona meraih sarjana dan magister hukum di FH Unpar sebelum menjadi doktor hukum dari Justus Liebig University Giessen, Jerman. Ia mengampu mata kuliah Hukum Internasional, Hukum Organisasi Internasional, Hukum Humaniter, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, dan Hukum Hak Asasi Manusia.

Baca Juga:

Jadi, apa saja tiga dosa itu?

1. Buruk keterampilan berbahasa Indonesia

“Pertama adalah persoalan penggunaan bahasa Indonesia. Harus mengikuti kaidah baku untuk menjawab soal ujian,” kata Liona. Ia menilai mahasiswa hukum saat ini punya kelemahan justru dalam keterampilan berbahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. “Subjek, predikat, dan objek harus berurutan dengan tepat. Jangan menuliskan keterangan waktu lebih misalnya,” ujar doktor lulusan Jerman ini.

Keterampilan berbahasa Indonesia yang buruk menyebabkan jawaban dalam ujian tidak bisa dipahami oleh dosen. Mahasiswa boleh saja merasa yakin sudah menuliskan jawaban yang tepat. Namun, jawaban ujian pada dasarnya adalah komunikasi dengan dosen. Mahasiswa tidak bisa memaksakan selera berbahasanya yang tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia agar dipahami dosen. Tidak ada cara lain selain menggunakan tata bahasa dan ejaan standar bahasa Indonesia yang baik dan benar.

“Kelemahan mahasiswa sekarang baik dalam menjawab pertanyaan maupun menulis surat kepada dosen seperti itu justru soal keterampilan bahasa Indonesia,” kata Liona. Ia juga menemukan beragam singkatan yang dibuat sendiri oleh mahasiswa dalam jawaban ujian. “Soal istilah-istilah, jangan gunakan berbagai singkatan buatan sendiri yang tidak umum,” kata dia. Bahkan, sudah tidak pada tempatnya menulis singkatan sebagai ragam bahasa informal dalam uraian jawaban ujian, apalagi singkatan yang tidak diakui secara umum.

2. Lalai merujuk RPS

Masalah kedua adalah kelalaian mahasiswa merujuk dokumen Rencana Pembelajaran Semester yang disingkat RPS. “Dulu namanya Satuan Acara Perkuliahan atau SAP, sekarang Rencana Pembelajaran Semester yang disingkat RPS. Pertanyaan ujian pasti tidak jauh dari uraian dalam RPS,” kata Liona.

Tags:

Berita Terkait