Demosi Hakim Praperadilan Boediono, Ancaman Independensi Peradilan?
Utama

Demosi Hakim Praperadilan Boediono, Ancaman Independensi Peradilan?

Karena putusan praperadilan Boediono mengandung pertentangan antara pelanggaran hukum acara (kepastian) dan menemukan nilai keadilan masyarakat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Dalam sepekan terakhir ini, Hakim Effendi Mukhtar menjadi sorotan terkait putusan praperadilan yang memerintahkan KPK menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka di kasus dugaan korupi dana talangan Bank Century. Sebab, tak lama setelah memutus permohonan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ini, Effendi didemosi dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) ke Pengadilan Negeri Jambi (PN Jambi). 

 

Keputusan demosi itu, berdasarkan Hasil Rapat Pimpinan Mahkamah Agung (MA) yang dimuat di website MA pada Selasa (24/4). Intinya, MA "membuang" Effendi dari PN Jaksel ke PN Jambi. Bila ditelisik kelas PN Jaksel merupakan pengadilan Kelas IA Khusus. Sedangkan kelas PN Jambi merupakan Kelas IA. Kata lain, perpindahan hakim Effendi ke PN Jambi dianggap sebagai “hukuman”.   

 

Menanggapi hal ini, Ketua MA M. Hatta Ali menganggap saat memutus permohonan praperadilan MAKI, Effendi dianggap bersalah karena telah melampaui batas kewenangan. “Kami menganggap ia melakukan perbuatan unprofessional conduct (bersikap tidak profesional). Memang ini teknis (judisial), tapi ia telah salah menerapkan (hukum acara). Karena itu, kami demosi ke PN Jambi,” kata Hatta usai acara pemilihan Wakil Ketua MA Non Yudisial di Gedung MA, Kamis (26/4/2018).

 

Hatta menilai seharusnya Effendi tidak mengeluarkan putusan yang memerintahkan seseorang menjadi tersangka, tetapi boleh mengeluarkan putusan melanjutkan perkara dugaan korupsi dana talangan Bank Century ini. “Itulah kesalahannya, semestinya kalau hanya sekedar memerintahkan untuk melanjutkan itu oke-oke saja. Tetapi putusannya jangan menyatakan tersangka. Sebab, itu kewenangan penuntut umum. Kan ada istilah dominus litis (kewenangan mutlak) yang dimiliki jaksa," kata dia. (Baca Juga: Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim Praperadilan)

 

Meski begitu, kata Hatta, putusan praperadilan Boediono tetap bisa dilaksanakan, kecuali amar perintah penetapan tersangkanya karena sebenarnya putusan praperadilan tidak memeriksa materi pokok perkara. “Tidak bisa KPK ikut (putusan) begitu saja. Dia harus lihat buktinya cukup atau enggak. Tapi yang penting supaya melanjutkan karena perkara ini sudah 7 tahun tidak ada perkembangan. Itu boleh saja, tapi jangan tunjuk orang bilang sebagai tersangka,” tegasnya.

 

Dia menyerahkan sepenuhnya kepada KPK, tetapi apabila kurang bukti tidak mungkin mereka ditetapkan sebagai tersangka. Dia menambahkan kemungkinan Effendi merasa benar dengan putusannya. "Mungkin dia merasa benar. Tapi kita anggap itu salah dan itu dalam ranah pengawasan MA," katanya. 

 

Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Suhadi mengakui setiap putusan hakim memang harus ditaati dan dihormati dan MA tidak boleh melanggar independensi hakim dalam memutus perkara termasuk putusan praperadilan. “Meski, putusan hakim tidak bisa diintervensi, tetapi atasannya dapat menilai putusan tersebut,” kata Suhadi kepada Hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait