Diusulkan Perlu UU Pengetatan Remisi bagi Terpidana Korupsi
Terbaru

Diusulkan Perlu UU Pengetatan Remisi bagi Terpidana Korupsi

Termasuk terpidana narkoba dan teroris. Mekanisme pengujian terhadap surat keputusan pemberian remisi bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 34A dan Pasal 43A Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terkait syarat khusus (tambahan) pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa, seperti perkara korupsi, terorisme, dan narkoba. Putusan ini menimbulka pro dan kontra. Terlepas pro dan kontra, pengaturan pengetatan remisi terhadap terpidana korupsi diusulkan perlu diatur level Undang-Undang (UU).

“Kalau pengetatan remisi ini seharusnya diatur oleh UU yang telah disetujui rakyat melalui DPR,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Hukumonline melalui sambungan telepon, Selasa (2/11/2021).

Meski menyayangkan putusan MA tersebut, Boyamin tetap menghormati putusan MA itu. Hal ini sehubungan dengan berlakunya asas res judicata pro veritate habetur. Artinya, apa yang diputus hakim haruslah dianggap benar. Dia berpendapat remisi memang menjadi hak seluruh narapidana, termasuk kasus korupsi, teroris dan narkotika sebagai bagian fungsi pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas).

“Jadi, pengetatan remisi pengaturannya tak lagi dituangkan dalam PP atau aturan turunan di bawah UU. Pengetatan remisi seharusnya diatur dalam UU,” tegasnya. (Baca Juga: LPSK: PP 99/2012 Hambat Implementasi Pemenuhan Hak Narapidana)  

Dia menilai institusi Kejaksaan Agung pun sudah mulai menuntut tinggi hukuman kasus korupsi di level ancaman hukuman 15 tahun. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun harus melakukan hal yang sama. ”Proses ini yang kita tunggu, hakim bisa saja mencabut hak remisi dari terdakwa kasus korupsi saat memutus hukuman penjara, selain dicabut hak politiknya,” usulnya.

Selain itu, jaksa penuntut umum saat melakukan tuntutan dalam rekusitornya harus tinggi selama 20 tahun penjara atau seumur hidup bagi pelaku korupsi yang layak diganjar hukuman seberat itu. “Kendati ada potongan masa tahanan, tapi posisi terpidana menjalani masa hukuman masih panjang.”

“Nantinya, publik dapat menguji keputusan pemberian remisi tersebut melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan keputusan pemberian remisi tersebut. Ini menjadi konsentrasi kita. Kita minta pemerintah dan DPR menyusun UU Pengetatan Remisi bagi korupsi, narkoba dan teroris.”

Terpisah, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai selama ini PP 99/2012 diarahkan agar penanganan kejahatan khusus bisa terbongkar lebih luas sebagai extraordinary crime. Sehingga, pelaku yang kooperatif diberikan reward berupa keringanan hukuman.

“Semestinya PP ini dipertahankan dan implementasinya proporsional dengan memperhatikan kepentingan nasional, perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian negara,” kata dia.

Azmi berpendapat PP 99/2012 masih diperlukan dalam hal pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana yang koperatif pada penegak hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menilai pembatalan PP 99/2012 menunjukan hakim kurang memahami gagasan karakteristik yang dikehendaki dalam upaya penanganan pelaku tindak pidana khusus.

“Ini kekeliruan karena tidak ada kaitannya dengan filosofi sistem permasyarakatan. Semestinya majelis hakim fokus pada perbuatan dan dampak karakteristik kejahatan luar biasa yang serius yang dilakukan pelaku,” katanya.

Sebelumnya, Putusan Uji Materil PP 99/2012 diputuskan pada 28 Oktober 2021 oleh majelis hakim Supandi sebagai ketua dan Is Sudaryono dan Yodi M Wahyunadi selaku anggota. Perkara dengan nomor 28 P/HUM/2021 itu diajukan Subowo dan kawan-kawan selaku mantan kepala desa yang kini sedang menjalani hukuman di LP Sukamiskin Bandung.

Dalam permohonannya, Subowo menyoal Pasal 34A ayat (1) huruf (a) dan b; Pasal 34A ayat (3), Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99/2012 karena mereka menilai ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UU di atasnya. Ada sejumlah pertimbangan yang disampaikan Majelis Hakim hingga pada kesimpulan mengabulkan uji materil PP tersebut.

Tags:

Berita Terkait