Drama War Tiket Coldplay dan Sifat Kompulsif Masyarakat Indonesia
Kolom

Drama War Tiket Coldplay dan Sifat Kompulsif Masyarakat Indonesia

Maraknya calo tiket sampai rentannya penipuan penjualan tiket konser. Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap mengenai hal ini, misalnya mencontoh yang dilakukan Taiwan.

Bacaan 9 Menit

Alurnya, calo membeli melalui laman pembelian resmi kemudian muncul di berbagai platform media sosial seperti instagram, facebook, twitter, tiktok dan lainnya. Mereka menunggu penggemar mengontak calo tersebut dan terjalin komunikasi transaksi jual beli tiket. Tentu, oknum tiket untung besar karena harga tiket melalui cara tersebut dijual dengan harga lebih tinggi dari harga aslinya.

Parahnya, tidak hanya calo saja, penjualan tiket konser Coldplay juga rentan penipuan. Penulis melihat bahwa skema yang dilakukan dari tiap penipuan berkedok penjualan tiket konser ini selalu sama dan cenderung sangat sederhana. Hingga kini sudah banyak orang menjadi korban dan melaporkan penipuan tersebut kepada polisi karena mereka tertipu tiket Coldplay. Berbagai kalangan telah menjadi korban dalam penipuan ini, penipuan ini tidak melihat latar belakang pendidikan, umur, maupun status sosial. Modus penipuan beraneka ragam, contohnya dengan menggunakan jasa penitipan alias jastip membeli tiket konser. Pola pembelian seperti ini rentan bernasib kurang baik. Pembeli justru tidak mendapatkan tiket asli. Modus lain, oknum meminta KTP dan foto calon pembeli dan itu rawan penyalahgunaan data pribadi.

Menurut hemat penulis, penipu konser untuk saat ini menurut hukum positif di Indonesia dapat dikenakan beberapa ketentuan. Pertama, Pasal 45A Jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua, Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Cara yang dilakukan oleh calo tiket konser merupakan cara klasik yang cara pembuktiannya dapat lebih mudah ditelusuri, namun regulasi di Indonesia belum mempunyai peraturan hukum yang tegas mengawal transaksi jual beli tiket konser musik khususnya. Peraturan yang ada hanya mengatur pelarangan tiket palsu, yaitu di dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) dan (2).

Semakin berkembang, terdapat pula oknum segelintir individu atau kelompok yang memanfaatkan kemampuan mengolah program komputer untuk mendapatkan tiket lebih mudah dan lebih banyak menggunakan algoritma yang mereka kuasai. Setelahnya akan dijual dengan harga tinggi kepada calon pembeli, sama seperti cara calo dan penipu tiket.

Meskipun Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim) telah bergerak untuk melakukan penyelidikan, penyelidikan tersebut bersumber dari laporan korban yang merasa ditipu. Penipu tersebut memang dapat ditelusuri, namun permasalahan telah terjadi dari akarnya dan penipuan lewat metode transfer seperti yang terjadi pada umumnya hanya merupakan “penipuan tradisional” memanfaatkan sifat kompulsif dan kelengahan dari korban. Namun, untuk calo dan oknum ahli komputer belum terdapat hukum positif yang mengatur terkait perbuatan yang mereka lakukan. Pemerintah dalam hal ini harus bertindak lebih “cerdas” lagi untuk memburu oknum ahli komputer dan penipu dengan melakukan langkah-langkah preventif karena hal ini berpeluang membuka lubang yang lebih besar lagi. Pengaturan pidana yang ada sekarang dalam praktiknya terkesan mudah sekali diakali oleh para oknum.

Dalam hal ini dapat dikatakan, hukum terlampau belum ada atau terlambat dalam merespon perubahan yang ada di masyarakat. Calo, penipu tiket konser, dan para oknum ahli komputer telah membuktikan bahwa mereka dapat memanfaatkan peluang dengan sangat baik dalam meraup untung yang sebesar-besarnya. Sayangnya, kegiatan yang mereka lakukan merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan secara nilai-nilai di masyarakat karena merugikan banyak orang.

Tags:

Berita Terkait