Dua Hari Ungkap Dugaan Suap Miliaran, Bukti OTT KPK Masih Dibutuhkan
Berita

Dua Hari Ungkap Dugaan Suap Miliaran, Bukti OTT KPK Masih Dibutuhkan

KPK rilis dua OTT, salah satunya kepala daerah yang diduga menerima suap dengan total hampir Rp14 miliar, Dirut BUMN Rp3,52 miliar dan kepala daerah lain Rp336 juta.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Penyidik KPK didampingi Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menunjukan uang sebesar Rp.336 juta, hasil OTT yang menjerat Bupati Benkayang , Kalimantan Barat Suryadman Gidot saat konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu (4/9). Foto: RES
Penyidik KPK didampingi Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menunjukan uang sebesar Rp.336 juta, hasil OTT yang menjerat Bupati Benkayang , Kalimantan Barat Suryadman Gidot saat konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu (4/9). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis tiga hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan di Palembang, Jakarta, dan Kalimantan hanya dalam dua hari. Kegiatan penangkapan ini suka tidak suka, mau tidak mau terjadi setelah Pansel mengumumkan 10 Calon Pimpinan (Capim) KPK, yang salah satu kandidat menyebut OTT sebagai parade dan capim lainnya menyebut tindakan OTT itu tidak tepat.  

 

Beberapa kasus OTT itu sekaligus menjadi jawaban dua pernyataan tersebut. Sebab, salah satunya ada kepala daerah yang diduga menerima uang hampir Rp14 miliar. Kemudian, OTT Direktur Utama sebuah BUMN sekitar Sing$345 ribu atau setara Rp3,52 miliar. Ditambah lagi, ternyata KPK juga melakukan OTT lain yaitu Bupati Bengkayang di daerah Kalimantan dengan barang bukti uang suap sebanyak Rp336 juta.

 

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan OTT masih sangat diperlukan KPK. Alasan sederhana, KPK sebagai penegak hukum tidak boleh membiarkan adanya kejahatan korupsi terjadi. “Menurut kami masih dibutuhkan karena penegak hukum tidak boleh membiarkan terjadi kejahatan. Aneh itu kalau polisi lihat kejahatan diam saja, KPK melihat insident of crime terus kita diam-diam saja? Itu sama saja membiarkan kejahatan terjadi,” ujar Laode M Syarif di kantornya, Selasa (3/9/2019) malam.

 

Berkaca dari lembaga korupsi Hongkong ICAC yang menyatakan pencegahan yang efektif adalah penindakan yang konsisten, maka kegiatan operasi tangkap tangan sejatinya memang masih diperlukan. Apalagi, Syarif mengklaim dari penanganan perkara korupsi di KPK, OTT hanya sekitar 10 persen dari total penindakan KPK.

 

“Sama Bu BP (Basaria Panjaitan) kami hitung jumlah OTT dan bukan OTT, kami hitung kurang 10 persen. Dari mana pendapat itu, sebelum bicara apalagi dia pejabat, tokoh masyarakat, hitung dulu dong berapa kasus OTT? Kalau kita hitung kurang dari 10 persen,” tegasnya.

 

Wakil Ketua KPK lainnya Basaria Panjaitan mengatakan pihaknya selalu mengingatkan para kepala daerah maupun pelaku kepentingan lain agar tidak melakukan korupsi. “Kita berlima keliling, kemana-mana, hanya mengingatkan saja. Kepala daerah apa semuanya bersih, tidak juga. Ada yang kita ingatkan jangan lakukan jangan lakukan, tapi kalau diulangi dengan hal yang sama apa kita biarkan? Kan tidak,” jelasnya.

 

Basaria merasa banyaknya penindakan bukan berarti korupsi semakin (marak) banyak terjadi. Justru sebaliknya, dengan banyaknya penindakan berarti kinerja yang dilakukan KPK semakin aktif karena dapat mengungkap berbagai modus kasus korupsi. Nah dengan adanya keaktifan itu, maka ia yakin tingkat korupsi di Indonesia semakin menurun.

 

Berikut ini posisi kasus tiga OTT KPK yang terjadi dalam dua hari ini:

  1. Bupati Muara Enim diduga terima suap total Rp13,9 miliar

Bupati Muara Enim Ahmad Yani diduga meminta Rp13,9 miliar sebagai syarat kepada kontraktor untuk meloloskan 16 proyek pembangunan jalan untuk tahun Anggaran 2019. Angka permintaan itu merupakan fee 10 persen dari total anggaran 16 proyek pembangunan jalan senilai Rp 130 miliar.

 

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan dalam tangkap tangan ini KPK mengamankan sejumlah pihak terkait yaitu Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan PPK di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin Muhtar; Direktur PT Enra Sari Robi Okta Fahlefi dan stafnya Edy Rahmadi.

 

Kronologi penangkapan bermula saat Elfin ingin melakukan transaksi dengan Robi bersama stafnya di sebuah restoran mie ayam di Palembang pada Senin (2/9) pukul 15.30 WIB. Setelah penyerahan uang terlaksana, pukul 17.00 WIB, tim mengamankan Elfin dan Robi beserta staf masing-masing. Tim KPK mengamankan uang sejumlah AS$35 ribu. Kemudian secara paralel, pukul 17.31 WIB, tim KPK mengamankan Bupati Muara Enim di kantornya secara terpisah di Muara Enim dan mengamankan beberapa dokumen.

 

Pada 31 Agustus 2019, Elfin meminta kepada Robi agar menyiapkan uang pada Senin dalam pecahan dolar sejumlah lima kosong-kosong”. KPK menduga itu merupakan kode uang Rp500 juta dalam bentuk dolar Amerika yang dikonversi menjadi AS$35 ribu. Selain penyerahan uang AS$35 ribu ini, tim KPK mengidentifikasi dugaan penerimaan sudah terjadi sebelumnya dengan total Rp 13,4 miliar sebagai fee yang diterima bupati dari berbagai paket pekerjaan di lingkungan pemerintah Kabupaten Muara Enim. 

 

Atas perbuatannya itu, Robi sebagai pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Sementara penerima yaitu Yani dan Elfin disangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

  1. Dirut PTPN diduga terima suap Sin$345 ribu

Penetapan tersangka selanjutnya yang berasal dari OTT yaitu Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) Dolly Pulungan; Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana; dan pengusaha gula yang juga bos PT Fajar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi dalam kasus dugaan suap terkait distribusi gula di PTPN III tahun 2019.

 

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut Dolly melalui Kadek Kertha Laksana diduga menerima suap sebesar Sing$345 ribu dari Pieko. Suap ini diberikan terkait distribusi gula di PTPN III yang digarap Pieko. Uang tersebut diduga merupakan fee terkait distribusi gula yang termasuk ruang lingkup pekerjaan PTPN III (Persero). Pieko merupakan pemilik dari PT Fajar Mulia Transindo dan perusahaan lain yang bergerak di bidang distribusi gula.

 

Pada awal tahun 2019, perusahaan Pieko ditunjuk menjadi pihak swasta dalam skema long term contract dengan PTPN III (Persero). Dalam kontrak ini, pihak swasta mendapat kuota untuk mengimpor gula secara rutin setiap bulan selama kontrak berjalan. Dikatakan Syarif, di PTPN III terdapat aturan internal mengenai harga gula bulanan yang disepakati oleh tiga komponen yaitu PTPN III, Pengusaha Gula, dan ASB selaku Ketua Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI). 

 

Lalu ada permintaan dari Dolly Pulungan ke Pieko Nyotosetiadi karena ia membutuhkan uang terkait persoalan pribadinya. Dolly meminta Kadek Kertha Laksana menemui Pieko untuk menindaklanjuti permintaan uang sebelumnya.

 

Dalam pertemuan itu, Pieko memerintahkan orang kepercayaannya bernama Ramlin untuk mengambil uang di money changer dan menyerahkannya kepadaCorry Luca, pegawai PT KPBN, anak usaha PTPN III di Kantor PTPN, Jakarta, pada Senin (2/9). Corry Luca mengantarkan uang Sing$ 345 ribu kepada ke Kadek Kertha Laksana di Kantor KPBN.

 

Sebagai tersangka penerima suap Dolly dan Kadek disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Pieko disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

  1. Bupati Bengkayang diduga terima suap Rp336 juta

Bupati Bengkayang menjadi penutup kegiatan OTT KPK yang dilakukan dalam dua hari ini. Ia diduga menerima uang suap sebesar Rp336 juta melalui Kadis PUPR dan Kadisdik kepada rekanan yang mengerjakan proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bengkayang.

 

Konstuksi perkaranya dimulai pada Jumat 30 Agustus 2019 terdapat permintaan uang dari Bupati Bengkayang Suryadman Gidot kepada Alexius (Kepala Dinas PUPR Bengkayang) dan Agustinus Yan (Kepala Dinas Pendidikan Bengkayang) terkait pemberian anggaran Penunjukan langsung tambahan APBD-Perubahan 2019 kepada Dinas PUPR sebesar Rp7,5 miliar dan Dinas Pendidikan sebesar Rp6 miliar.

 

Dalam satu pertemuan, Bupati diduga meminta uang kepada Alexius dan Yan masing-masing sebesar Rp300 juta untuk menyelesaikan permasalahan pribadinya dan meminta disiapkan pada hari Senin dan diserahkan kepadanya di Pontianak.

 

Menindaklanjuti hal itu, pada Minggu 1 September 2019, Alexius menghubungi beberapa rekanan untuk menawarkan proyek pekerjaan penunjukan langsung dengan syarat memenuhi setoran di awal. Untuk satu paket pekerjaan penunjukan langsung dimintakan setoran sebesar Rp 20-25 juta, atau minimal sekitar 10 persen dari nilai maksimal pekerjaan penunjukan langsung yaitu Rp200 juta.

 

Kemudian pada Senin, 2 September 2019, Alexius menerima setoran tunai dari beberapa rekanan proyek yang menyepakati fee sebagaimana disebut sebelumnya terkait paket pekerjaan penunjukan langsung melalui staf honorer pada Dinas PUPR dengan rincian: Rp120 juta dari Bun Si Fat; Rp160 juta dari Pandus, Yosef, dan Rodi; dan Rp60 Juta dari Nelly Margaretha.

 

Atas informasi awal yang diterima, KPK menelusuri dan pada 3 September 2019 sekitar pukul 10.00, tim melihat Alexius dan salah satu Staf Dinas PUPR berada di Mess Pemkab Bengkayang. Tidak lama kemudian, tim melihat mobil Bupati datang dan masuk ke Mess Pemda Bengkayang. Tim menduga pemberian uang terjadi saat itu. Dan benar saja, tim kemudian masuk ke Mess Bengkayang dan mengamankan sejumlah pihak termasuk Bupati beserta uang sejumlah Rp336 juta dalam bentuk pecahan 100 ribu. Kemudian beberapa orang lain yang diduga memberikan suap turut diamankan penyidik.

 

Sebagai pemberi Rodi, Yosef, Nelly, Bun Si Fat, dan Pandus disangkakan Pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. Sementara Bupati Bengkayang Suryadman Gidot dan Alexius sebagai penerima disangkakan Pasal Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Tags:

Berita Terkait