Guru Besar FH UII: Frasa 'Mengakui' dan 'Menghormati' untuk MHA Tidak Tepat
Terbaru

Guru Besar FH UII: Frasa 'Mengakui' dan 'Menghormati' untuk MHA Tidak Tepat

Frasa mengakui dan menghormati bersifat politis, lebih tepat melindungi karena memiliki konsekuensi hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Tercatat jumlah MHA di tingkat global sebesar 5 persen dari populasi masyarakat di dunia atau sekitar 470 juta orang MHA dan tersebar di 90 negara. Komunitas MHA di Indonesia jumlahnya sekitar 2.161 kelompok. “Setiap 9 Agustus diperingati sebagai hari internasional MHA,” urainya.

Deklarasi PBB tentang MHA itu memuat 46 pasal, di mana 40 pasal mengatur tentang hak secara rinci baik sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta lainnya. Selain pasal-pasal yang tercantum dalam deklarasi, pada konsiderannya memuat 25 poin pertimbangan yang menekankan soal eksistensi dan perlindungan MHA. Secara global juga diakui posisi MHA masuk dalam kategori kelompok rentan.

Sebelumnya, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mencatat per Maret 2024 pihaknya telah meregistrasi 1.425 wilayah adat seluas 28,2 juta hektar di Indonesia. Luas total wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah mencapai 240 wilayah adat dengan luas mencapai 3,9 juta hektar. Luasan tersebut hanya 13,8 persen dari total wilayah adat teregistrasi di BRWA.

“Rendahnya capaian pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah karena belum adanya program dan dana memadai yang disediakan oleh pemerintah,” tegasnya.

Kasmita menghitung sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menetapkan 244.195 hektar di 131 wilayah adat.  Padahal potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.

Absennya UU tentang Masyarakat Adat atau RUU MHA menyebabkan urusan pengakuan masyarakat adat dijalankan mengikuti peraturan perundangan sektoral.  Akibatnya tidak ada kelembagaan dan progam di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan beragam upaya telah dilakukan masyarakat sipil untuk mendorong terbitnya RUU MHA. Antara lain menggugat Presiden dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena 15 tahun tak kunjung menuntaskan pembahasan rancangan beleid tersebut. Padahal ancaman terhadap MHA terus berlangsung.

“Ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah menjadi kombinasi yang sempurna terhadap perampasan wilayah adat serta penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait