Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan
Berita

Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan

Ada tiga masalah utama ketenagakerjaan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan
Hukumonline
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community yang akan dilaksanakan pada 2016 mendatang masih menyisakan tanda tanya. Terutama bagaimana mekanisme pelaksanaan pasar bebas ini, langkah antisipasi pemerintah, dan implikasinya bagi banyak sektor di Indonesia

Salah satunya adalah persoalan ketenagakerjaan. Hingga saat ini, regulasi arus tenaga kerja secara bebas masuk ke Indonesia. Secara terpisah sudah ada sejumlah regulasi parsial tentang tenaga kerja asing di bidang industri pengolahan minuman, dan bidang di bidang  energi. Kalau pada akhirnya ketenagakerjaan menjadi bebas masuk ke dalam negeri, bagaimana pula wajah tenaga kerja Indonesia untuk bersaing bersama anggota peserta AEC 2016?

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Kesalahannya bisa tataran individu, lembaga, perantara atau justru pada regulasi yang menyertai.

Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Pemberdayaan Tenaga Kerja, Frans Go, menilai sektor tenaga kerja di Indonesia menghadapi tiga permasalahan utama yang dapat mempengaruhi daya saing tenaga kerja. Pertama, persoalan kesempatan kerja yang terbatas. Situasi ini, lanjut Frans, disebabkan karena pertumbuhan ekonomi yang belum mampu menyerap angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja dan jumlah penganggur riil.

Kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja. Berdasarkan data BPS Agustus 2013, rendahnya kualitas angkatan kerja terlihat dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yang masih mencapai 52 juta orang atau 46,95 persen. Ketiga, masih tingginya tingkat pengangguran. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen atau meningkat dari Februari 2013 yang tercatat 5,92 persen dan Agustus 2012 yang sebesar 6,14 persen.

Melihat hal tersebut, Frans Go mengatakan kondisi ini mengharuskan Indonesia untuk mencari terobosan dan pemecahan agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan. “Kondisi ini mengharuskan kita mencari suatu pemecahan yang tidak lagi bersifat normatif tetapi ke arah terobosan (breathrough) agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak justru menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan,” kata Frans dalam siaran pers, Rabu (30/4).

Menurut Frans, setidaknya dua aspek penting ketenagakerjaan di Indonesia yakni Sumber Kekayaan Alam (SKA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). “Sumber kekayaan alam tidak akan berarti dan menyejahterakan rakyat jika tidak dikelola oleh tenaga kerja yang kompeten dan berkualitas. Tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan itu sendiri,” ungkap Frans.

Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah kenaikan upah yang signifikan dalam konteks UMR (Upah Minimum Regional), isu pekerjaan yang bersifat outsourcing, dan ancaman pengangguran.

Disamping itu, dalam menghadapi MEA 2016, persoalan tenaga kerja di Luar Negeri masih banyak menyisakan perkerjaan rumah. Landasan hukum terkait  penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKLN).

Namun, kata Frans, ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, UU ini dinilai lebih banyak mengatur prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri, dan hanya sedikit mengatur hak-hak dan jaminan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya.

Lindungi Nelayan dan Petani
Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai strategi dan persiapan Indonesia menghadapi MEA 2016 berpeluang gagal. Pasalnya, tidak adanya perubahan kebijakan guna memaksimalkan perlindungan bagi nelayan dan petani Indonesia. “Faktanya, pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, konsumsi pangan dan perikanan terus meningkat, serta 80 hingga 90 persen kebutuhan konsumsi pangan domestik Indonesia bersumber dari produksi petani dan nelayan kecil. Maka, kegagalan melindungi petani dan nelayan akan menggeser MEA 2016 dari peluang menjadi ancaman serius bangsa," Kata Direktur Eksekutif IGJ, Riza Damanik, dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Rabu (30/4).

Menurut Riza, MEA 2015 akan mendorong liberalisasi pangan melalui pengintegrasian sektor pertanian dan perikanan Negara-negara ASEAN. Sebagai informasi, bahwa Indonesia merupakan produsen terbesar ikan di dunia dengan total produksi sebesar 19,56 juta ton pada 2013, dan produsen terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton.

Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan subsidi belum terjawab dengan solusi yang tepat. Riza berharap adanya penambahan alokasi subsidi benih dan pupuk bagi petani dan pemberian subsidi BBM yang tepat sasaran kepada nelayan.

“Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani dan nelayan Indonesia, terlebih dalam menghadapi MEA 2015. Strategi dimaksud meliputi intervensi negara dalam mereduksi hegemoni industri dalam kegiatan hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait