​​​​​​​Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat
Seluk Beluk Hukum Keluarga

​​​​​​​Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat

UU Perlindungan Anak menganut prinsip ‘demi kepentingan terbaik untuk anak’, tetapi pengangkatan anak tidak memutus hubungan darahnya dengan orang tua kandung. Hak mewaris bagi anak angkat berbeda-beda dalam sistem hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 5 Menit

Berdasarkan Pasal 875 KUH Perdata, seseorang berhak membuat wasiat atau testamen berisi pernyataan tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, termasuk kehendaknya mengenai harta. Dengan pijakan ini, orang tua angkat bisa membuat wasiat yang memberikan bagian kepada anak angkat, tetapi pernyataan itu harus memperhatikan legitime portie ahli waris.

Hukumonline.com

Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan Islam didasarkan pada prinsip ijbari, bilateral, dan individual. Asas ijbari mengandung arti bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya hanya kepada orang-orang yang dikehendakinya. Asas bilateral mengandung arti seseorang dapat menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, baik dari keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas individual mengandung arti membagikan semua tirkah pewaris kepada seluruh kerabat dengan adil.

Hukum Islam juga sudah menentukan urutan ahli waris yang berhak mendapatkan waris, yaitu (i) ashhabul furudl; (ii) ahsabah nasabiyah; (iii) dzawurradi; (iv) dzawul arham; (v) radd kepada salah seorang suami-isteri; (vi) ‘ashib sababi; dan (vii) baitulmal. Kelompok ashhabul furudl adalah kelompok beranggotakan 12 yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an, Hadits, dan ijtima’ ulama. Jadi, mereka adalah kelompok yang memperoleh bagian dari harta warisan yang berjumlah 12 orang. Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam merangkum siapa saja yang berhak menjadi ahli waris menurut hukum Islam. Pertama, menurut hubungan darah: golongan laki-lagi terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek; golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Kedua, menurut hubungan perkawinan, terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli  waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda.

Dari kelompok ahli waris yang disebutkan ternyata tidak termasuk anak angkat, karena ahli watis tak punya hubungan darah dengan pewaris dan tidak ada pula hubungan perkawinan. Menurut Abdul Manan, dalam bukunya ‘Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia’ (2006: 219), anak angkat dimasukkan ke dalam kategori pihak di luar ahli waris yang dapat menerima harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah. Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam memuat normanya: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.

Baca juga:

Ada banyak kasus hukum pewarisan yang melibatkan anak angkat, baik karena anak angkat ditetapkan sebagai anak kandung dalam dokumen hukum (lihat misalnya putusan MA No. 61 PK/AG/2016) maupun karena ahli waris lain tidak menerima pembagian waris kepada anak angkat. Itu pula sebabnya dalam putusan pengadilan, adakalanya hakim melihat realitas hubungan anak angkat dengan orang tuanya. Lihat misalnya kaidah hukum yang terbangun dalam putusan MA No. 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990: Apakah seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu sejak bayi ia dipeihara, dikhitankan, dan dikawinkan oleh orang tua angkat.

Hukum Adat

Negara mengakui hukum adat, termasuk dalam pengangkatan anak. Pengakuan ini dapat dibaca dari rumusan Pasal 39 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014, yang menyebutkan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adar kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat adat di Indonesia, sebagaimana disinggung dua sarjana Belanda yang banyak mengkaji hukum adat di Indonesia: Ter Haar dan van Vollenhoven, mengenal pengangkatan anak. Tetapi dampaknya terhadap pewarisan bisa berbeda-beda untuk masing-masing adat. Ada masyarakat adat yang menganggap dan memperlakukan anak angkat sebagai anak yang lahir dari orang tua angkatnya sehingga diperlakukan sama dengan anak kandung. Sebaliknya, ada yang tetap tidak memutus hubungan anak angkat dengan orang tua biologisnya. Malah ada yang memperbolehkan anak angkat mendapatkan warisan dari orang tua angkat sekaligus dari orang tua kandungnya. Di daerah yang pengaruh Islamnya kuat, anak angkat tidak mewaris dari orang tua angkatnya.

Tags:

Berita Terkait