Hasil Pembahasan Aturan PKWT dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja
Berita

Hasil Pembahasan Aturan PKWT dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja

Ketentuan lebih lanjut mengenai PKWT dan outsourcing akan diatur lewat peraturan pelaksana (PP). Kenaikan upah minimum akan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas, upah minimum sektoral dihapus.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. HGW
Ilustrasi. HGW

Pemerintah dan DPR hampir menyelesaikan pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja dan saat ini sedang dilakukan sinkronisasi serta membenahi tata bahasa oleh tim kecil, Demikian penjelasan Anggota Panja RUU Cipta Kerja, Obon Tabroni, dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PSHK Indonesia bertema “Permasalahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja,” Senin (28/9/2020).

Dia mengatakan awalnya pemerintah mengusulkan ketentuan tentang PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain/alih daya (outsourcing) dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihapus melalui RUU Cipta Kerja. Pemerintah tidak mengatur ketentuan PKWT dan outsourcing itu dalam RUU Cipta Kerja karena diserahkan kepada mekanisme pasar. (Baca Juga: Melek Omnibus Law II: Menyol Fleksibilitas Aturan PKWT Outsourcing)

Tapi dalam perkembangan pembahasan RUU Cipta Kerja, Obon mengungkapkan ketentuan PKWT dan outsourcing perlu diatur dalam RUU Cipta Kerja karena terkait banyak aspek, seperti jenis pekerjaan dan jangka waktu berlakunya perjanjian. Selain itu, RUU Cipta Kerja memberi iming-iming bagi buruh berstatus PKWT berupa kompensasi ketika kontraknya berakhir. Tapi tidak diatur berapa besaran kompensasi tersebut.

Hal ini tercantum dalam Pasal 61A RUU Cipta Kerja. Aturan ini mewajibkan perusahaan memberi kompensasi kepada pekerjanya jika PKWT berakhir, paling sedikit masa kerja 1 tahun yang besarannya diatur Peraturan Pemerintah (PP).

Misalnya, dalam Pasal 56 ayat (3-4) RUU Cipta Kerja memasukkan prinsip “kesepakatan para pihak” (pekerja dan pengusaha) mengenai jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu yang teknisnya diatur Peraturan Pemerintah (PP). Sebab, RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur persyaratan PKWT. Misalnya, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu; pekerjaan sekali selesai atau sementara; penyelesaiannya paling lama 3 tahun atau bersifat musiman.

Soal outsourcing, atau penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur Pasal 64 UU No.13 Tahun 2003, Obon menjelaskan awalnya pemerintah merasa tidak perlu campur tangan karena hal ini dianggap sebagai business to business (perjanjian bisnis perdata). Namun, akhirnya ketentuan ini tetap harus diatur dalam RUU Cipta Kerja karena terkait perlindungan hak buruh/pekerja.  

Apalagi, MK melalui putusan No.27/PUU-IX/2011 telah memandatkan 2 model outsourcing. Pertama, hubungan kerja antara buruh dan perusahaan outsourcing berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan perlindungan buruh outsourcing.

“Prinsip kami, apa yang sudah diputuskan MK itu harus menjadi aturan baru, dan tidak dilakukan perubahan (dalam RUU Cipta Kerja, red),” kata mantan Deputi Presiden Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPP FSPMI) itu. (Baca Juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja terhadap Publik)

Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan outsourcing tidak lagi terikat dengan syarat-syarat sebagaimana diatur Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan atau lebih fleksibel. Bedanya, Pasal 66 ayat (1) RUU Cipta Kerja menyebut hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh didasarkan pada PKWT atau PKWTT. Artinya, perusahaan outsourcing membuka peluang bagi pekerja tetap (sebagaimana amanat putusan MK).     

Perubahan lain ketentuan UU No.13 Tahun 2003 yang disorot dalam RUU Cipta Kerja yakni pengupahan. Misalnya, mekanisme kenaikan upah minimum setiap tahun mengacu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan produktivitas. Kemudian upah minimum sektoral sebagaimana diatur Pasal 89 UU No.13 Tahun 2003 dihapus.

Mengenai pesangon, Obon menjelaskan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja hampir sama seperti UU No.13 Tahun 2003 yang mengenal pesangon. Bedanya, beban pengusaha membayar pesangon nilainya dikurangi karena pemerintah menanggung sebagian melalui kebijakan fiskal lewat program jaminan kehilangan pekerjaan. Tapi tetap pesangon hanya diberikan untuk buruh berstatus PKWTT.

Tidak beri cek kosong

Pengajar STH Indonesia Jentera, M Nur Sholikin, menilai pemerintah keliru jika menganggap persoalan PKWT dan outsourcing tidak perlu diatur pemerintah. Padahal obyek yang ada dalam perjanjian kerja adalah manusia. Jika pemerintah lepas tangan, akan menimbulkan banyak persoalan. Sektor ketenagakerjaan tidak dapat dilihat hanya bisnis saja, tapi juga kemanusiaan karena manusia memiliki hak dasar untuk hidup.

“Ini berarti pemerintah mengingkari kewajiban konstitusi untuk memberikan pekerjaan yang layak bagi masyarakat,” kata dia.

Sholikin menekankan pengaturan yang dilakukan pemerintah di sektor ketenagakerjaan sangat penting karena posisi buruh dan pemberi kerja seringkali tidak seimbang. Tapi sayangnya, posisi pemerintah sebagaimana diatur dalam RUU Cipta Kerja tidak berada bersama buruh, tapi malah berseberangan.

Menurut Sholikin, DPR seharusnya tidak memberi “cek kosong” kepada pemerintah untuk mengatur ketentuan yang belum jelas ke dalam peraturan pelaksana seperti PP. Ini artinya memberi kebebasan bagi pemerintah untuk mengatur ketentuan yang tidak disepakati oleh DPR untuk dituangkan kemudian hari dalam peraturan pelaksana.

Ketua Umum Konfederasi KASBI, Nining Elitos menilai pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi buruh yang mendesak pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan selama pandemi Covid-19 belum berakhir. Soal outsourcing, Nining mengatakan sebelum pandemi serikat buruh menuntut alih daya dihapus karena praktiknya sering melanggar aturan, begitu pula dengan praktik PKWT.

Ironisnya, selama ini berbagai bentuk pelanggaran terkait PKWT dan outsourcing itu tidak pernah ditindak secara tegas oleh pemerintah, bahkan seolah akan dilegalkan melalui RUU Cipta Kerja. “RUU Cipta Kerja ini bermasalah bukan hanya di sektor ketenagakerjaan tapi juga perpajakan, lingkungan hidup, pertanahan, kehutanan, perkebunan dan lainnya,” kata Nining.

Tags:

Berita Terkait