Hukum Kepailitan Indonesia dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kolom

Hukum Kepailitan Indonesia dalam Perspektif Sociological Jurisprudence

Hukum kepailitan dan PKPU telah memberi pengaruh perkembangan budaya hukum masyarakat Indonesia.

Bacaan 4 Menit
Alfin Sulaiman. Foto: Istimewa
Alfin Sulaiman. Foto: Istimewa

Wacana perubahan norma hukum kepailitan Indonesia yang berlaku tampaknya terus bergulir. Sejak pandemi covid-19, isu ini menghiasi media, seminar, dan Focus Group Discussion (FGD). Meningkatnya permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta persoalan moral hazard  menjadi faktor pendorong serta pemberlakuan moratorium.

Baca juga:

Dalam FGD di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hadi Subhan menyampaikan bahwa UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU) menjadi “momok”. Ini termasuk bagi pemerintah terkait kepailitan BUMN (Focus Group Discussion,Problematika Kepailitan dan Pembubaran BUMN Persero Serta Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 21 Maret 2024). Menurutnya teori, kepailitan berkembang menjadi empat fungsi: a) Insolvensi untuk menyelesaikan debitur bangkrut; b) Recovery untuk menagih utang; c) Likuidasi untuk mempercepat pemberesan; d) Eksekusi untuk putusan pengadilan yang telah inkracht.

Perubahan Hukum Kepailitan Indonesia dalam konteks norma saat ini tidak menjadi prioritas Pemerintah dan DPR, dibuktikan belum dimasukkannya dalam Prolegnas. Respon disikapi Mahkamah Agung dalam tatanan pelaksanaan norma melalui penerbitan Surat Keputusan (SKMA 3/KMA/SK/I/2020 jo. SKMA 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU) dan Surat Edaran (SEMA No.2 Tahun 2016 Tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan; dan rumusan perkara perdata untuk perkara kepailitan dan PKPU yaitu SEMA No.3 Tahun 2015,SEMA No.2 Tahun 2019,SEMA No.5 Tahun 2021,SEMA No.1 Tahun 2022,SEMA No.3 Tahun 2023).

Mahkamah Konstitusi juga melakukan uji materi UU Kepailitan dan PKPU melalui Putusan Nomor 071/PUU-II/2004 dan 001-002/PUU-III/2005 (menyangkut Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3) ), serta Putusan Nomor 23 PUU-XIX/2021 menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”.

Perspektif Sociological Jurisprudence

Kenyataan hukum tidak mungkin dilepaskan dari masyarakat. Upaya mencari hubungan hukum dan masyarakat bisa dilakukan salah satunya dengan Sociological Jurisprudence yang melihat hukum harus berjalan seiring perubahan masyarakat. Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Pendekatan Sociological Jurisprudence adalah hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum dari masyarakat ke hukum.

Melalui karya Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence tahun 1912, Roscoe Pound menyampaikan bahwa hukum yang baik adalah sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering and social control). Ajaran ini menekankan pentingnya living law agar hukum mendapatkan legitimasi.

Tags:

Berita Terkait