ICJ: KUHP Baru Tak Sesuai Standar HAM Internasional
Terbaru

ICJ: KUHP Baru Tak Sesuai Standar HAM Internasional

Antara lain bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), dan Konvensi Hak-Hak Anak (CRC).

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly saat persetujuan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly saat persetujuan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang belum lama ini disepakati DPR dan pemerintah terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Masyarakat sipil yang tergabung dalam International Commisssion of Jurists (ICJ), menyatakan keprihatinan terhadap KUHP baru karena substansinya masih ada yang bertentangan dengan hukum HAM internasional. Misalnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), dan Konvensi Hak-Hak Anak (CRC).

Penasihat Hukum Associate Internasional ICJ, Daron Tan, mencatat KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Seperti Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun.

Keterntuan itu menurut Daron Tan sangat samar dan luas, sehingga melanggar prinsip legalitas yang mengharuskan UU dirancang secara jelas dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang. “ICJ sangat khawatir Pasal 188 digunakan untuk mempidanakan pekerjaan nyata para pembela HAM,” kata Daron Tan saat dikonfirmasi, Kamis (15/12/2022).

Baca Juga:

Begitu juga Pasal 218 KUHP yang mengatur pelarangan pencemaran nama baik Presiden dan Wakil Presiden dengan ancaman pidana sampai 3 tahun dan denda 200 juta. Menurut Daron Tan, hal tersebut akan menekan diskursus dan kritik yang sah, dan secara paten bertentangan dengan afirmasi Komite Hak Asasi Manusia bahwa seluruh pejabat publik “secara hukum dapat menerima kritik dan oposisi politik”.

Daron Tan menyebut lembaganya menekankan di bawah hukum HAM internasional “Pihak-pihak negara harus mempertimbangkan dekriminalisasi pencemaran nama baik,” dan “hukuman penjara bukanlah sanksi yang tepat (untuk pencemaran nama baik).”

“UU KUHP yang baru ini juga mengandung ketentuan problematik terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, aksi unjuk rasa dan demonstrasi tanpa pemberitahuan, dan penistaan agama, dimana kesemuanya ini bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Indonesia,” ujar Daron Tan.

Penasihat Hukum Nasional Indonesia ICJ, Ruth Panjaitan, mengatakan Pasal 411 KUHP baru melanggar hukum HAM internasional karena mengkriminalisasi hubungan seksual konsensual sebagai perilaku yang digolongkan dan dianggap sebagai tindak pidana “perzinahan.” Memperlakukan “perzinaan” sebagai tindak pidana melanggar antara lain hak-hak perempuan untuk bebas dari diskriminasi dan untuk memperoleh kesetaraan di mata hukum dan perlindungan yang sama dari hukum tanpa diskriminasi.

Seperti ditetapkan oleh hukum dan standar hak asasi manusia, serta yurisprudensi, kriminalisasi perzinahan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan untuk memperoleh privasi, selain juga bertentangan dengan ICCPR dan CEDAW,” urai Ruth.

Begitu pula kriminalisasi terhadap kohabitasi sebagaimana diatur Pasal 412 KUHP baru. Ruth berpendapat kriminalisasi kohabitasi melanggar, terutama hak atas privasi menurut Pasal 17 ICCPR. Ketentuan itu dikhawatirkan merugikan, dan memberikan stigma terhadap perempuan Indonesia yang tinggal bersama pasangan di luar pernikahan.

Ruth juga menyoroti Pasal 463 KUHP yang mengkriminalisasi perempuan dan setiap orang termasuk dokter dan tenaga medis yang membantu perempuan melakukan aborsi. Pelanggaran terhadap ketentuan itu berupa ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun.

Ruth mengingatkan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan badan HAM internasional telah menyerukan adanya akses ke aborsi yang aman dan sah secara hukum. Ia menegaskan menolak akses perempuan terhadap aborsi dan pelayanan kesehatan pasca aborsi merupakan pelanggaran atas hak asasi mereka. Termasuk hak atas kesehatan, privasi, bebas dari diskriminasi, kesetaraan di mata hukum, dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas otonomi, termasuk otonomi reproduksi, martabat dan hak untuk bebas dari perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan perlakuan merendahkan dan hak untuk hidup.

ICJ merekomendasikan KUHP baru dicabut atau diubah substansinya. Khususnya pasal-pasal yang merugikan HAM seperti mendiskriminasikan perempuan dan kelompok minoritas, dan tidak sejalan dengan hak-hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi serta kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait