Indeks Kinerja Legislasi DPR Periode 2021 Dinilai Tidak Memuaskan
Utama

Indeks Kinerja Legislasi DPR Periode 2021 Dinilai Tidak Memuaskan

Terdapat lima dimensi yang menjadi parameter IPC dalam menilai indeks kinerja legislasi DPP. Penilaian ini menjadi kritik agar DPR tidak bebal.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Acara Peluncuran Indeks Kinerja Legislasi (IKL) DPR Periode 2021, Jumat (25/2). Foto: RFQ
Acara Peluncuran Indeks Kinerja Legislasi (IKL) DPR Periode 2021, Jumat (25/2). Foto: RFQ

Dalam kurun satu periode di 2021, kinerja DPR di bidang legislasi hanya menghasilkan produk delapan undang-undang. Selain minimnya jauh dari target Prolegnas Prioritas, kinerja DPR masih menyisakan sejumlah permasalahan yang mesti diselesaikan. Belum lagi soal minimnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan beberapa UU yang kini menjadi sorotan publik. Bisa dikatakan indeks kinerja legislasi DPR periode 2021 jauh dari kata baik.

“Hasil rata-rata skor lima dimensi yang diukur menghasilkan skor IKL 2020-2021 sebesar 36,2 yang menunjukan bahwa kinerja legislasi adalah buruk,” ujar Ketua Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi dalam peluncuran Indeks Kinerja Legislasi (IKL) DPR Periode 2021, Jumat (25/2).

Ahmad Hanafi berpandangan, IKL periode 2021 difokuskan pada pembahasan delapan RUU yang dibahas sepanjang masa sidang 2020-2021, yakni RUU Cipta Kerja, RUU Perubahan atas UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, RUU Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama Dalam Bidang Pertahanan.

Kemudian RUU Bea Materai, RUU Mahkamah Konstitusi (MK), RUU Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021, RUU Pengesahan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Antara Republik Indonesia dan Negara-Negara EFTA, serta RUU Pengesahan Protokol Untuk Melaksanakan Paket Komitmen Ketujuh Bidang Jasa Keuangan Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Asean Di Bidang Jasa.(Baca: Catatan Penting untuk Perbaikan Fungsi Legislasi DPR)

Menurutnya, IKL dibangun berdasarkan rata-rata indeks setiap dimensi yang diukur dalam kajian. Sementara indeks masing-masing dimensi dihitung dengan merata-rata skor pertanyaan. Pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumen dan oberservasi. Dokumentasi rapat pembahasan RUU yang menjadi objek kajian bersumber dari laporan sidang, berita di media elektronik, channel youtube, akun resmi media sosial DPR.

Sementara dalam IKL ada lima dimensi yang diukur. Pertama, efektivitas prosedur. Pada dimensi ini, memperoleh skor paling tinggi dibanding empat dimensi lainnya yang diukur dalam IKL, yakni dengan skor 52,07. Kedua, transparansi hanya mendapat skor 22,93.

Ketiga, partisipasi. Skor dimensi ketiga terendah dibanding empat dimensi lainnya, yakni 8,91 yang menunjukan kiinerja legislasi dalam hal pelibatan publik dan penyediaan wahana partisipasi adalah sangat buruk.

Tags:

Berita Terkait