Independensi Jadi Tantangan Pimpinan KPK Jilid V
Utama

Independensi Jadi Tantangan Pimpinan KPK Jilid V

Jangan sampai dengan pengaturan terbaru mengenai struktur dan tata kerja KPK ini kinerja KPK dalam memberantas korupsi malah menurun dibanding periode-periode sebelumnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Foto: RES
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Foto: RES

Resmi sudah Presiden Joko Widodo melantik lima komisoner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas). Dalam satu periode ke depan, pemberantasan korupsi berada di pundak KPK Jilid V di bawah pimpinan Firli Bahuri. Terlepas berbagai polemik yang ada di tubuh KPK maupun aturan yang ada, pemberantasan korupsi harus terus berjalan.

 

Ketua MPR Bambang Soesatyo mendorong pimpinan KPK Jilid V beserta Dewas agar dapat menjawab berbagai apriori publik terhadap lembaga antirasuah itu dengan menunjukan kerja nyata. Baginya, publik membutuhkan hasil pemberantasan korupsi tak sekadar angka yang ditujukan dengan seberapa banyak perkara yang ditangani. Melainkan seberapa besar penyelenggaraan negara bisa berjalan efektivitasnya untuk kepentingan rakyat.

 

Agar pemberantasan korupsi berjalan efektif, pria biasa disapa Bamsoet itu meminta KPK tak hanya mengandalkan operasi tangkap tangan (OTT) semata. Namun juga menggunakan strategi dan pendekatan lain. Misalnya, membangun sinergitas dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan. Bahkan juga ke berbagai lembaga pengawasan lainnya seperti PPATK, BPK, maupun BPKP.

 

“Pemberantasan korupsi tak bisa dilakukan oleh KPK seorang diri. Hindari show off maupun ego sektoral kelembagaan. Terlebih dari itu, dengan berbagai kewenangan luar biasa yang telah diberikan Undang-Undang kepada KPK, seperti penyadapan serta kebijakan hukum lainnya, yang notabene tak dimiliki Polri dan Kejaksaan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (21/12).

 

Politisi Partai Golkar itu menyorot keberadaan Dewas. Menurutnya, lima orang anggota Dewas KPK yang baru saja dilantik bukan untuk menghambat kerja lembaga pemberantasan korupsi. Namun dalam rangka memastikan KPK selalu berada dalam koridor hukum yang tepat dalam pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, lima anggota Dewas adalah Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan pimpinan KPK), Harjono (Ketua DKPP), Albertina Ho (Hakim), Artidjo Alkostar (mantan Hakim Agung), dan Syamsudin Haris (peneliti LIPI).

 

“Integritas mereka tak perlu diragukan. Penunjukkan kelimanya sekaligus menepis anggapan bahwa keberadaan Dewas KPK akan mengebiri kinerja KPK. Justru sebaliknya, Dewas akan semakin memperkuat KPK,” katanya.

 

Terpisah, Sekretaris Jenderal  (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Angaran (FITRA), Misbah Hasan mengatakan, pimpinan KPK Jilid V memiliki beban berat untuk  membuktikan  ke publik tentang pemberantasan korupsi yang independen. Terlebih lagi dengan perubahan struktur dan tata kerja terbaru sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

 

Menurutnya, menjadi pertanyaan besar bagi publik tentang apakah kinerja KPK Jilid V pasca revisi UU 30/2002 menjadi lebih baik, atau sebaliknya. Penyebabnya, UU 19/2019 berangkat dari asumsi pemerintah dan DPR kinerja pemberantasan korupsi yang dianggap belum optimal. Tentu saja hal tersebut bakal menjadi sorotan semua pihak dalam menilai kinerja KPK, sekaligus efektivitas  UU 19/2019 yang didorong oleh pemerintah.

 

“Jangan sampai justru dengan pengaturan terbaru mengenai struktur dan tata kerja KPK ini kinerja KPK dalam memberantas korupsi malah menurun dibanding periode-periode sebelumnya. Ini harus menjadi catatan para pimpinan yang baru dilantik. Pimpinan KPK yang baru dilantik harus bisa menjawab hal ini,” kata Misbah.

 

Baca:

 

Dia menilai, capaian kinerja KPK periode 2014-2018 setidaknya menjadi tolok ukur kinerja pimpinan KPK baru dalam pemberantasan korupsi. Sepanjang tahun 2014-2018, KPK sudah menyelamatkan uang negara sebesar Rp1,5 triliun. Pengembalian uang negara di tahun 2016 memperoleh jumlah yang sangat signifikan, yakni  mencapai Rp532 miliar.

 

Selain itu, kegiatan pencegahan korupsi oleh KPK sepanjang 2015-2019 juga telah berhasil mencegah dan menyelamatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp63,9 triliun. Dia merinci angka itu berasal dari gratifikasi berupa uang dan barang Rp159 miliar, optimalisasi PAD dan pengembalian aset daerah Rp29 triliun dan Rp34,7 triliun dari penertiban potensial aset.

 

Lebih lanjut, Misbah menyebut bahwa salah satu hal yang paling disoroti masyarakat adalah pengaturan mengenai perlunya ijin Dewas dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan. Pasalnya aturan tersebut berpengaruh terhadap langkah OTT yang biasa dilaksanakan oleh KPK dalam pengungkapan kasus. Menurutnya, hal ini termasuk yang akan menjadi pertaruhan pimpinan baru,.

 

“Jangan sampai langkah OTT justru tidak efektif di bawah kepemimpinan baru di KPK. Dewas jangan sampai malah dituding menjadi biang masalah dalam efektivitas KPK untuk melakukan OTT,” katanya.

 

Tetap tolak

Kendatipun kelima komisoner KPK Jilid V telah dilantik Presiden Joko Widodo, Indonesia Corruption Watch (ICW) tetap pada pendiriannya menolak keras lima pimpinan KPK periode 2019-2023 itu. Setidaknya terdapat lima alasan penolakan yang dibeberkan oleh Peneliti hukum ICW, Kurnia Ramadhana.

 

Pertama, adanya dugaan pernah melanggar kode etik. Dia menilai, salah satu pimpinan KPK diduga sempat bertemu dengan seorang kepala daerah yang sedang berperkara di lembaga antirasuah itu. Terkait ini, ICW pada tahun 2018 lalu telah melaporkan salah seorang pimpinan KPK tersebut ke KPK atas dugaan pelanggaran kode etik.

 

Kedua, setuju Revisi Undang-Undang KPK. Menurutnya, pada saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, mayoritas pimpinan KPK terpilih sepakat untuk merevisi UU KPK. Padahal di saat yang sama draf yang ditawarkan oleh DPR dan pemerintah tidak pernah sekalipun memperkuat KPK. Selain itu penolakan masyarakat juga sangat meluas perihal perubahan UU KPK tersebut.

 

Ketiga, tidak patuh Lapor Harta Kekayaan Pejabat  Negara (LHKPN) ke KPK. Kurnia menilai, salah seorang pimpinan KPK diketahui sempat tak melaporkan harta kekayaan ke KPK. Padahal kewajiban melaporkan LHKPN sudah diatur secara tegas dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian juga Peraturan KPK No 07 tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

 

“Tentu catatan ini akan berimplikasi buruk bagi citra KPK yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” katanya.

 

Keempat, usia tidak mencukupi untuk dilantik menjadi pimpinan KPK. Menurutnya, satu di antara lima pimpinan KPK masih berusia 45 tahun. Dipastikan, hal tersebut  menjadi persoalan serius. Soalnya,  Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK harus berusia paling rendah 50 tahun.

 

“Untuk itu mestinya Presiden dapat menunda pelantikan yang bersangkutan karena diduga melanggar ketentuan dalam UU KPK,” katanya.

 

Kelima, pernah dipetisi oleh internal pegawai KPK. Sabagaimana diketahui, pada periode April lalu pegawai KPK sempat mengirimkan petisi kepada pimpinan KPK karena diduga ada hambatan penanganan kasus di Kedeputian Penindakan lembaga antirasuah itu. Faktanya, pimpinan Kedeputian Penindakan tersebut saat ini terpilih menjadi pimpinan KPK baru.

Tags:

Berita Terkait