Ingat, Kata Umum Tak Boleh Sembarangan Didompleng Sebagai Merek Dagang
Terbaru

Ingat, Kata Umum Tak Boleh Sembarangan Didompleng Sebagai Merek Dagang

Kata umum atau deskriptif dapat dijadikan suatu merek apabila merek tersebut merupakan merek sekunder (secondary brand) yang menjadi daya pembedanya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ingat, Kata Umum Tak Boleh Sembarangan Didompleng Sebagai Merek Dagang
Hukumonline

Pendaftaran merek Citayam Fashion Week (CFW) oleh beberapa tokoh publik beberapa saat lalu menjadi perbincangan publik. Efek atas pemberitaan hal ini membuat mata masyarakat umum ‘terbuka’ mengenai kemungkinan terjadinya upaya monopoli atas suatu merek secara legal yang dapat dilakukan melalui pendaftaran merek. Saat ini permohonan tersebut telah ditarik kembali oleh Pemohon.

Penamaan CFW pertama kali muncul pada saat anak-anak remaja asal Citayam, Bogor dan Depok menjadikan kawasan di Jalan Sudirman sebagai ajang fashion. Layaknya model, anak-anak remaja tersebut menggelar fashion show dengan berjalan di atas zebra cross. Kreativitas anak-anak remaja Citayam tersebut pun berhasil menarik perhatian masyarakat luas dan membuat kegiatan komunal di lokasi Sudirman Jakarta Selatan.

Jika melihat awal mula nama CFW, mungkin anak-anak remaja Citayam, Bogor, Depok menjadi pihak yang yang berhak atas merek Citayam Fashion Week. Pendaftaran merek CFW yang memicu reaksi dari masyarakat pun mem membuktikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran merek dagang/jasa sudah mulai meningkat.

Baca Juga:

Banyak pelaku usaha kecil dan menengah kini mulai membicarakan dan memperhatikan perlindungan hukum terhadap merek. Mereka mulai mengetahui konsekuensi dan risiko bila suatu merek dagang/jasa tidak didaftarkan ke Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI (Kantor Merek).

Meskipun demikian, praktisi kekayaan intelektual Suyud Margono masih banyak masyarakat yang sepertinya kurang memahami proses permohonan pendaftaran atas suatu merek, termasuk bagaimana ketentuan serta kriteria merek yang dapat atau tidak dapat didaftarkan.

“Pada prinsipnya siapapun dapat mengajukan permohonan pendaftaran merek ke Kantor Merek asalkan memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek)” ungkap Suyud dalam keterangan pers Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Rabu (24/8).

“Namun demikian, hal ini tidak menjamin permohonan pendaftaran merek akan dapat terdaftar karena terdapat aspek – aspek krusial yang menjadi syarat dan pertimbangan dalam pemeriksaan substantif oleh pemeriksa merek di Kantor Merek. Aspek – aspek krusial tersebutlah yang menjadi pertimbangan bagi pemeriksa merek untuk menolak atau menerima permohonan pendaftaran merek tersebut,” tambahnya.

Oleh karena konsep pendaftaran merek di Indonesia menerapkan sistem first to file, lanjut Suyud, artinya siapa yang lebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran merek, maka ia yang berhak sebagai pemilik pertama atas merek dan hak eksklusif atas merek tersebut. Artinya, pihak lain tidak boleh memohonkan suatu merek dengan nama yang sama dengan merek yang telah terdaftar lebih dahulu, di kelas barang dan jasa yang sama. Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap orang untuk memastikan mereka mendaftarkan nama dagang yang mereka gunakan sejak awal.

Hal penting lainnya yang harus dipertimbangkan oleh pemohon sebelum mengajukan permohonan pendaftaran merek adalah itikad baik (good faith) dalam mengajukan permohonan pendaftaran merek. Kantor Merek bisa saja menolak suatu permohonan pendaftaran merek yang didasarkan atas itikad tidak baik.

Ditinjau dari sisi UU Merek, Pasal 21 ayat 3 dimana disebutkan bahwa Permohonan dapat ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik dan yang dimaksud sebagai itikad tidak baik menurut UU Merek adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak atau mengikuti merek milik pihak lain demi kepentingan usahanya yang dapat menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat yang pada akhirnya dapat berpotensi menyesatkan konsumen. Oleh karena itu, Kantor Merek mewajibkan pemohon untuk membuat surat pernyataan berisi bahwa merek yang dimohonkan tersebut merupakan milik pemohon dan tidak meniru merek pihak lain.

Perihal lain yang tidak kalah penting, adalah ketentuan penggunaan kata umum/generik dari suatu merek. Dalam praktek banyak pemohon merek menggunakan unsur-unsur kata umum atau kalimat yang hampir serupa antara merek yang satu dengan merek yang lain.

“Sesuai dengan pasal 20 huruf f UU Merek, berbunyi bahwa Merek tidak dapat didaftar jika merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum. Artinya, penggunaan kata umum, yang dijadikan sebagai suatu merek dagang atau merek jasa, tidak dapat terdaftar sebagai merek dagang atau merek jasa. Akibat hukum dari terdaftarnya kata umum sebagai merek adalah timbul hak monopoli bagi pemiliki merek karena merek terdaftar bersifat eksklusif. Artinya, hak eksklusif ini memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemilik merek, untuk melarang pihak lain menggunakannya tanpa izin dari pemilik merek,” jelasnya.

Itulah sebabnya penggunaan kata umum semestinya tidak dapat diterima pendaftarannya dan dijadikan sebagai merek karena menimbulkan rasa tidak adil apabila memberikan monopoli sesuatu yang merupakan milik umum.

Meskipun kata umum dan deskriptif berdasarkan UU Merek tidak bisa didaftarkan, terdapat pengecualiannya. Dalam Pasal 22 UU Merek disebutkan “…. terhadap merek terdaftar yang kemudian menjadi nama GENERIK, setiap orang dapat mengajukan permohonan merek dengan menggunakan nama GENERIK dimaksud dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda”.

Dengan demikian, kata umum atau deskriptif dapat dijadikan suatu merek apabila merek tersebut merupakan merek sekunder (secondary brand) yang menjadi daya pembedanya. Merek sekunder ini biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut.

Pada Pada kasus Citayem, penggunaan kata Fashion Week merupakan suatu kata generik yang juga dapat didaftarkan selama memiliki unsur daya pembeda. Hal ini juga terjadi pada kasus merek untuk produk kosmetik yang terjadi baru-baru ini.

Pada dasarnya keduanya mempunyai merek utama yang berbeda tetapi menggunakan suatu merek sekunder yang sama. Merek utama seharusnya dapat menjadi pembeda dari keduanya, oleh karena kata generik yang digunakan sebagai merek sekunder tidak dapat dimonopoli. Hal serupa juga terjadi pada kasus merek pasta gigi yang pernah terjadi. Dimana kata sekunder yang digunakan merupakan suatu kata generik, sedangkan merek utama kedua produklah yang akan menjadi pembedanya.

Guru Besar UNAIR, Prof. Dr. Rahmi Jened, dikutip dari bukunya yang berjudul “Buku Hukum Merek” dinyatakan bahwa “karya setiap klaim atas generic term untuk memperoleh hak eksklusif merek harus ditolak karena pengaruhya akan memberikan hak monopoli tidak hanya pada tanda yang digunakan sebagai merek. Tetapi juga pada produk. Hal ini membuat merek tersebut tidak berdaya saing untuk dapat secara efektif memberi nama pada produk yang diusahakan untuk dijualnya”.

Berdasarkan pendapat tersebut, penggunaan generic term pada sebuah merek akan menggambarkan jenis dari produk tersebut dan tidak hanya sekedar menggambarkan produknya. Sehingga merek seperti ini dapat menjadikan produsen atau pemilik merek memiliki hak untuk memonopoli dan pihak lain tidak bisa memproduksi barang atau jasa yang sama, misalnya pada penggunaan kata ‘bersih’, ‘kuat’, ‘cerah’ atau kata-kata lainnya untuk produk-produk pembersih.

Oleh karena itu, pemilik merek tidak boleh memonopoli secara eksklusif atas kata generic atau kata bersifat umum sebagai merek dagang dan melarang pihak lain untuk menggunakannya. Sudah banyak putusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa kata bersifat umum atau generik tidak boleh dimonopoli penggunaannya oleh satu pihak saja.

“Disarankan kepada pemohon pendaftaran merek supaya memperhatikan dan lebih hati-hati supaya merek yang akan didaftarkan tersebut benar-benar merupakan buah hasil pikiran sendiri dan tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar. Begitupun dengan pemilik merek untuk memahami bahwa penggunaan kata umum tidak dapat semena-mena dimonopoli hak atas penggunaannya” pungkas Suyud.

Tags:

Berita Terkait