Ini Daftar Gratifikasi Imam Nahrawi
Berita

Ini Daftar Gratifikasi Imam Nahrawi

Dari bayar tiket F1 hingga menjadikan Taufik Hidayat perantara.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga RI Imam Nahrowi. Foto: RES
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga RI Imam Nahrowi. Foto: RES

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga RI Imam Nahrowi didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan dua perbuatan. Pertama, menerima uang suap sebesar Rp11,5 miliar bersama-sama dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Kedua, menerima gratifikasi sebesar Rp8,6 miliar dari beberapa pihak terkait dengan jabatannya.

 

Untuk dakwaan pertama, penerimaan suap Rp11,5 miliar dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) kepada Kemenpora RI untuk tahun kegiatan 2018. Uang tersebut berasal dari Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI dan Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI.

 

Salah satu kegiatan yang dimaksud adalah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi pada Multi Eventh Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Selain itu, terkait proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018.

 

Atas perbuatannya, Imam didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

 

(Baca: Miftahul Ulum, Kisah Asisten Menteri yang Kini Jadi Terdakwa Korupsi)

 

Sementara dakwaan kedua, berkaitan dengan gratifikasi sejumlah Rp8,6 miliar. Fakta yang diungkap penuntut umum dalam surat dakwaan cukup mengejutkan karena gratifikasi ini untuk biaya menonton Formula 1, desain rumah Imam, acara buka puasa bersama, hingga melibatkan mantan atlet bulutangkis nasional Taufik Hidayat sebagai perantara.

 

Berikut daftar gratifikasinya;

 

Rp300 juta dari Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy

Pada 2015 asisten pribadi Menpora, Miftahul Ulum atas sepengetahuan Imam menemui Sesmenpora Alfitra Salam di ruang kerjanya. Dalam kesempatan itu Ulum meminta uang Rp5 miliar jika Alfitra ingin tetap menjabat sebagai Sesmenpora. Namun Alfitra belum memenuhi permintaan tersebut. 

 

Selanjutnya pada awal bulan Agustus tahun 2015, Ulum kembali menemui Alfiitra Salamm di ruang kerjanya. "Pak Menteri kan ada kegiatan Muktamar NU di Jombang ni, tolong dibantu," kata Ulum seperti ditirukan penuntut umum KPK.

 

Kemudian karena ada permintaan lagi dari Alfitra menghubungi Ending dan ia sepakat memberikan uang sejumlah Rp300 juta untuk Imam. Ending menitipkan uang sejumlah Rp300 juta kepada Lina Nurhasanah, Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) periode tahun 2015 di kantor Kemenpora dan memintanya untuk membawa uang tersebut ke Surabaya karena akan diberikan kepada seseorang," ujar penuntut.

 

Rp4,948 miliar tambahan operasional

Pada tahun 2015, Imam melalui Ulum meminta dana tambahan operasional Menpora kepada Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Bambang Tri Joko, yang bersumber dari dana Satlak PRIMA Kemenpora RI. Atas permintaan tersebut, Bambang menyampaikan kepada Lina Nurhasanah. Dan Lina memberikan uang dalam 38 tahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,948 miliar.

 

Sebagian dari pemberian uang tersebut ternyata digunakan Imam untuk membayar kartu kredit, biaya perjalanan ke luar negeri, acara buka puasa, membeli pakaian hingga menonton pertandingan Formula 1 yang ketika itu berlangsung di Melbourne, Australia. "Bulan Maret 2016 dengan nilai sejumlah Rp75 juta diterima Miftahul Ulum melalui Anton Asfihani untuk pembayaran Ticket Masuk F1 Rombongan Kemenpora hari Sabtu & Minggu, 19-20 Maret 2016," terang penuntut.

 

Rp2 miliar konsultasi renovasi rumah

Shobibah Rohmah, istri Imam Nahrawi menggunakan jasa Kantor Budipradono Architecs untuk mendesain rumahnya di Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya mereka bersepakat dengan nilai kontrak Rp700 juta untuk Pekerjaan Jasa Konsultan Arsitek untuk Desain rumah.

 

"Pembayaran untuk Termin 1 senilai Rp200 juta sudah dibayar pada saat kontrak ditandatangani pada tanggal 9 Juli 2015, oleh Shobinah Rohmah kepada Kantor Budipradono Architecs dan untuk pembayaran selanjutnya Shobibah meminta Intan Kusuma Dewi (konsultan Kantor Budipradono) untuk berkoodinasi dengan Miftahul Ulum," terang penuntut.

 

Selain rumah, Shobibah juga ingin dibuatkan desain interior untuk cafe dan butik di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Biaya yang dibutuhkan untuk renovasi sebesar Rp300 juta, sedangkan desainnya sendiri ada biaya lain sebesar Rp90 juta. "Pada sekitar bulan Oktober 2016, Miftahul Ulum menghubungi Lina Nurhasanah melalui telepon. Dalam pembicaraan tersebut, Miftahul Ulum meminta uang sejumlah Rp2 miliar untuk membayar 'Omah Bapak' maksudnya yaitu rumah milik Terdakwa," pungkasnya.

 

Awalnya Lina sempat menolak permintaan itu, tapi karena terus didesak akhirnya uang itu diberikan yang berasal dari dana akomodasi atlet pada anggaran Satlak PRIMA. Kemudian Shobibah kembali memesan desain arsitektur rumah di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan yang menelan biaya sebesar Rp815 juta. Penuntut umum menyakini uang Rp2 miliar yang berasal dari anggaran Kemenpora yang diberikan Lina, termasuk untuk biaya desain rumah tersebut.

 

Rp1 miliar dan Taufik Hidayat

Sekitar bulan Januari 2018, Tommy  Suhartanto selaku Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA menyampaikan kepada Edwad Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Manajer Pencairan Anggaran Program Satlak PRIMA ex officio selaku PPK Program Satlak PRIMA bahwa ada permintaan uang dari Imam Nahrawi sebesar Rp1 miliar. 

 

Selanjutnya masih pada bulan Agustus 2018, Tommy meminta Reiki Mamesah yang menjabat selaku Asisten Direktur Keuangan Satlak PRIMA Kemenpora RI untuk mengambil uang sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari anggaran Program Satlak PRIMA kepada Ucok.

 

"Selanjutnya Reiki menyerahkan uang tersebut kepada Taufik Hidayat di rumah Taufik Hidayat di Jalan Wijaya 3 No 16 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian uang sejumlah Rp1 miliar tersebut diberikan oleh Taufik Hidayat kepada Terdakwa melalui Miftahul Ulum di rumah Taufik Hidayat," ujar penuntut.

 

Rp400 juta dari BPP PON

Pada sekitar bulan Januari 2018, Imam Nahrawi memanggil Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana pada saat berada di lapangan bulu tangkis di kantor Kemenpora RI untuk meminta uang honor Satlak PRIMA. Padahal satuan itu telah dibubarkan pada pada bulan Oktober 2017. 

 

Atas permintaan uang dari Imam tersebut, Mulyana melakukan pembahasan dengan Chandra Bakti selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satlak PRIMA Tahun 2017 dan PPK Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kemenpora RI dan Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) PPON. Dalam pembahasan tersebut akhirnya disepakati untuk memberikan uang sejumlah Rp400 juta kepada Imam selaku penanggung jawab Satlak PRIMA. 

 

"Selanjutnya masih pada tahun 2018, Supriyono menyerahkan uang sejumlah Rp400 juta kepada Miftahul Ulum di areal parkir dekat Masjid yang ada di komplek Kemenpora RI tanpa adanya tanda terima yang sah dengan disaksikan oleh Mulyana. Beberapa hari kemudian Mulyana menyampaikan kepada Terdakwa bahwa uang untuknya Rp400 juta telah diserahkan melalui Miftahul Ulum. selanjutnya IMAM NAHRAWI mengatakan 'terima kasih'," ungkap penuntut.

 

"Bahwa sejak Terdakwa selaku MENPORA RI menerima Gratifikasi yang seluruhnya sejumlah Rp8,648 miliar melalui Miftahul Ulum, Terdakwa tidak pernah melaporkan ke KPK sampai dengan batas waktu 30 hari sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, padahal penerimaan itu tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut peraturan perundangan yang berlaku," tegas penuntut.

 

Atas perbuatannya ini Imam didakwa Pasal 12B ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

 

Tags:

Berita Terkait