Ini Dampak Kegiatan KPK Pasca PSBB Jakarta
Berita

Ini Dampak Kegiatan KPK Pasca PSBB Jakarta

Mulai dari pembagian waktu bekerja hingga gelar perkara Djoko Tjandra yang mengundang Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Petugas tengah menyemprotkan cairan disinfektan di lobi gedung KPK di Jakarta. Foto: RES
Petugas tengah menyemprotkan cairan disinfektan di lobi gedung KPK di Jakarta. Foto: RES

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan akan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta. Langkah ini dilakukan untuk menekan angka penularan pandemi COVID-19 yang semakin naik pada PSBB Masa Transisi Fase I.

Anies menjelaskan indikator utama dalam keputusan tersebut adalah tingkat kematian (Case Fatality Rate) dan tingkat keterisian rumah sakit (Bed Occupancy Ratio) baik untuk tempat tidur isolasi, maupun ICU yang semakin tinggi dan menunjukkan bahwa Jakarta berada dalam kondisi darurat.

Merespon kebijakan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sistem dan jam kerja di lingkungan KPK saat ini masih berlaku sebagaimana SE Pimpinan KPK yang terakhir pasca beberapa pegawai terpapar Coronoviirus Disease beberapa waktu yang lalu yaitu kehadiran fisik proporsi 50% bekerja dari rumah dan 50% sisanya bekerja dari kantor.

“Jam bekerja pegawai yang bekerja di kantor (BDK) adalah 8 jam dengan ketentuan, Senin sampai Kamis yaitu shift I pukul 08.00 s,d 17.00 wib dan shift II pukul 12.00 wib sampai dengan pukul 20.00 WIB. Sedangkan Jumat shift I jam 08.0s.d 17.30 dan shift II jam 11.00 sampai 20.30 WIB,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Namun jika pihaknya juga akan melakukan penyesuaian terhadap rencana PSBB yang diterapkan Gubernur Anies. Namun demikian, kata Ali, KPK tetap akan bekerja baik dalam penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi, apalagi jika kasus-kasus korupsi yang ditangani dalam bidang penindakan mempunya batas waktu tertentu.

“Khusus untuk penanganan perkara yang memang menurut ketentuan UU ada batasan waktunya tentu akan tetap segera diselesaikan dengan protokol kesehatan ketat baik itu terhadap saksi dan tersangka yang diperiksa maupun para penyidik KPK,” terangnya. (Baca: Empat Titik Rawan Korupsi Penanganan Covid-19)

Gelar Perkara Joko Tjandra

Tak lama setelah menyampaikan respon ini, Ali Fikri juga mengumumkan pihaknya akan mengundang Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung untuk gelar perkara di KPK pada hari Jumat, 11 September 2020 terkait perkara yang diduga melibatkan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Hal ini dilakukan KPK sebagai pelaksanaan kewenangan koordinasi dan supervisi sebagaimana ketentuan undang-undang.

“Perkembangan terkait kegiatan ini akan kami informasikan lebih lanjut. Untuk pihak Bareskrim Mabes Polri dimulai jam 09.00, sedangkan pihak Kejaksaan Agung akan dimulai jam 13.30 s.d selsai,” terangnya. (Baca: Jaksa Pinangki Jadi “Pelengkap” Dugaan Keterlibatan Penegak Hukum di Kasus Djoko Tjandra)

Diketahui sebelumnya, pada pekan lalu pimpinan KPK telah memerintahkan Deputi Penindakan KPK Karyoto untuk menerbitkan surat perintah supervisi terkait pengangan perkara di Kejaksaan Agung dan Polri terkait Joko Tjandra. “Pimpinan telah memerintahkan Deputi Penindakan untuk menerbitkan surat perintah supervisi penanganan perkara oleh kejaksaan dan kepolisian terkait tersangka DST (Djoko Soegiarto Tjandra) dan kawan-kawan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Jumat (4/9).

Alex menuturkan, selain menerbitkan surat perintah supervisi tersebut, KPK juga akan mengundang Kejaksaan Agung dan Polri dalam gelar perkara terkait kasus tersebut. Alex mengatakan, gelar perkara itu dilakukan untuk mempertimbangkan pengambilalihan perkara oleh KPK dari Polri atau Kejaksaan Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 10A UU KPK. Menurutnya pengambilalihan penanganan perkara oleh KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10A UU KPK juga tidak menunggu penyusunan peraturan presiden lebih lanjut.

“KPK akan melihat perkembangan penanganan perkara tersebut untuk kemudian mengambil sikap pengambilalihan apabila memenuhi syarat-syarat alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 10A Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019," ujar Alex. (Baca: Penangkapan Djoko Tjandra Pintu Masuk Bongkar Mafia Hukum!)

Seperti diketahui, Polri dan Kejaksaan Agung kini sama-sama tengah menangani kasus dugaan suap di balik pelarian Djoko Tjandra. Polri menangani kasus dugaan suap terkait penghapusan red notice serta penerbitan surat jalan. Sementara Kejaksaan Agung mengani kasus dugaan suap yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung.

Sebelumnya Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berharap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melalukan supervisi dan mengambil alih, terkait kasus pelarian Djoko Tjandra dari Indonesia yang diduga melibatkan oknum Kejaksaan Agung dan Polri.

Menurut dia, pentingnya lembaga antirasuah itu dilibatkan, untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan, baik di Kejagung maupun Polri. “Untuk mencegah adanya konflik kepentingan, KPK lebih baik segera mengambil alih penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi oknum di Kejaksaan Agung dan Kepolisian,” ujar Kurnia dalam keterangannya, Jumat (7/8).

Selain itu, dia menyarankan agar Kejagung segera menelisik oknum lain yang diduga terlibat dalam pelarian Joko Tjandra. Menurut Kurnia, ini bisa menjadi momen bersih-bersih di tubuh Kejagung sendiri. “ICW berharap agar Kejaksaan Agung segera melakukan reformasi besar-besaran serta menindak berbagai oknum yang terlibat dalam pelarian Joko Tjandra, baik memproses etik melalui Komisi Kejaksaan atau dengan instrumen hukum,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait