Ini Kekurangan UU ITE Menurut Otto Hasibuan
Berita

Ini Kekurangan UU ITE Menurut Otto Hasibuan

PERADI siap membantu pemerintah untuk merevisi UU ITE.

CT-CAT
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan. Foto: istimewa.
Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan. Foto: istimewa.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Otto Hasibuan angkat bicara mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sempat ramai akhir-akhir ini. Otto mengungkap adanya kekurangan dari aturan hukum yang dikenal dengan UU ITE ini.

 

“Ada yang kurang di zaman pemerintahan sekarang ini. Di zaman dahulu hampir setiap penyusunan dan perubahan undang-undang, organisasi profesi dilibatkan. Saya sendiri beberapa kali jadi tim perubahan KUHAP, KUHP, pembuatan UU advokat karena kedudukan saya ketua organisasi advokat baik Ikadin maupun Peradi,” ujar Otto kepada Hukumonline.

 

Advokat senior ini menyatakan, umumnya para penyusun selalu meminta peranan advokat setiap ada penyusunan dan perubahan undang-undang. Namun, beberapa waktu belakangan ini hal itu tidak lagi dilakukan. Hal ini sangat disayangkan, melihat DPR dan pemerintah justru mengabaikan peran dari para advokat yang merupakan pihak yang langsung berkepentingan dengan undang-undang.

 

Padahal, jika meminta peran dari advokat DPR dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk meminta pendapat dari pada ahli. Apalagi, sejumlah advokat termasuk dirinya juga merupakan akademisi dan menjadi pengajar di sejumlah universitas. Oleh karena itu ia berharap para pemangku kepentingan ini bisa memberdayakan peran advokat dengan baik.

 

“Jangan curiga dengan organisasi advokat, justru harus bersinergi. Kalau advokat sudah ikut di dalamnya, advokat sudah bisa konkret tidak hanya dalam teori, tapi dalam praktik pun advokat bisa menyampaikan itu. Proses test the water sudah bisa dilakukan karena sudah dites oleh advokat. Nanti, mutunya akan baik. Ini kan undang-undang 5 tahun sudah berubah 10 tahun sudah berubah,” Otto menerangkan.

 

Dukung Revisi

Terkait dengan UU ITE, Otto sendiri mendukung adanya rencana pemerintah untuk merevisi dan mengadakan perubahan. Menurutnya, UU ITE yang ada saat ini sangat mengganggu keadilan masyarakat karena banyak pasal karet yang bisa menjangkau siapa pun. Bahkan, menurutnya isi UU ITE ini seperti UU Subversif zaman dahulu dengan bungkusan berbeda.

 

Oleh karena itu ia mengapresiasi sikap dari Presiden Joko Widodo yang membuka peluang untuk mengubah UU tersebut. Tentunya, perubahan hampir mustahil dapat dilakukan jika bukan Presiden yang menginisiasi. Apalagi kedudukan pemerintah di dalam mengambil sebuah keputusan politik termasuk perubahan undang-undang memang lebih dominan.

 

“Dengan adanya inisiasi dari presiden ini jadi kesepakatan yang sama dengan legislatif, karena harus ada persetujuan DPR. Partai juga sepakat dengan ini, kalau tidak akan membelenggu rasa keadilan masyarakat,” katanya.

 

PERADI, kata Otto juga siap membantu pemerintah dan DPR terkait UU ITE. Bahkan pihaknya sudah menyiapkan tim untuk memberi usulan konkret pasal-pasal yang perlu direvisi. Otto mengamini perlu ada aturan hukum yang mengatur tata cara berkomunikasi di media sosial. Namun, hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan berbicara bagi masyarakat.

 

“Kalau dibiarkan tidak menguntungkan kedudukan politik presiden, karena akan bisa mengikis kepercayaan masyarakat ke pemerintah. Kepercayaan mamsyarakat sangat diperlukan dalam penegakan hukum di mana saat sekarang ini terganggu ekonomi karena pandemi,” tuturnya.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan perhatian khusus pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Alasannya, belakangan ini menurut Jokowi banyak warga masyarakat yang saling melaporkan dengan menggunakan aturan hukum tersebut.

 

“Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan tetapi memang pelapor itu ada rujukan hukumnya. Ini repotnya di sini, antara lain Undang-Undang ITE. Saya paham Undang-Undang ITE ini semangatnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, agar sehat, agar beretika, dan agar bisa dimanfaatkan secara produktif, tetapi implementasinya, pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan," ujar Jokowi seperti disiarkan dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Senin, 15 Februari 2021.

 

Selain itu Jokowi juga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigiti Prabowo untuk selektif dalam memilih perkara mana saja yang memang sesuai dengan UU ITE. Jika perlu, ia bahkan memerintahkan Kapolri untuk membuat pedoman penegakan hukum terhadap UU tersebut.

 

Tak cukup hanya itu, jika memang masih belum bisa memberikan rasa keadilan, ia pun akan mengajukan revisi kepada DPR RI. “Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini, revisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” tuturnya.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

 

 

Tags:

Berita Terkait