Ini Pokok-Pokok Keberatan Pelaku Usaha atas Terbitnya PMK E-Commerce
Berita

Ini Pokok-Pokok Keberatan Pelaku Usaha atas Terbitnya PMK E-Commerce

Pemerintah diminta mengkaji ulang implementasi aturan tentang pajak e-commerce dengan melibatkan stakeholders.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Tanda amnesti pajak di suatu kantor. Foto: RES
Tanda amnesti pajak di suatu kantor. Foto: RES

Pemerintah baru saja menerbitkan PMK No. 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Salah satu hal yang diatur dalam PMK yang terbit pada 31 Desember 2018 ini adalah kewajiban memiliki NPWP bagi setiap pelaku usaha online.

 

Kalangan pengusaha e-commerce langsung merespon aturan tersebut. Indonesia e-commerce Assosiation (idEA) misalnya, menyesalkan terbitnya PMK 210/2018. Chairman idEA, Ignatius Untung mengatakan bahwa terbitnya PMK 210/2018, tanpa sosialisasi terlebih dahulu dikhawatirkan dapat menghambat pertumbuhan UMKM.

 

Menurut Untung, merujuk pada studi yang dilaksanakan oleh pihaknya pada 1765 pelaku UMKM di 18 kota di Indonesia, 80 persen dari pelaku UMKM masuk ke dalam kategori mikro, 15 persen masuk kategori kecil, dan hanya 5 persen yang sudah bisa dikatakan masuk sebagai usaha menengah. 

 

"Artinya, besar kemungkinan 80 persen dari pelaku UMKM masih berjuang untuk bertahan, menguji bisnis model mereka, sebelum bisa membesarkan usahanya," kata Untung dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (14/1).

 

Pemberlakuan PMK 210/2018 tentang pajak e-commerce, bisa terlihat sebagai entry barrier atau halangan yang akan mempersulit UMKM untuk bertahan dan mengembangkan usaha. Bahkan dari hasil uji coba idEA dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak dari antara pengusaha mikro yang masih pada level coba-coba. Kewajiban memiliki NPWP untuk setiap pelaku usaha e-commerce harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah mengingat omset mayoritas pelaku usaha e-commerce belum berskala besar.

 

Di sisi lain, lanjut Untung, keberadaan plaatform e-commerce lokal yang relatif taat aturan karena memenuhi segala persyaratan usaha yang ditetapkan pemerintah termasuk perlindungan konsumen bisa terancam oleh pemberlakuan PMK 210/2018. Pemberlakuan PMK 210/2018 pada platform marketplace yang mudah dikontrol akan mendorong pedagang untuk pindah berdagang melalui media sosial yang minim kontrol dan memang tidak diciptakan untuk transaksi.

 

Berbagai permasalah yang mungkin akan timbul adalah penipuan. Bahkan berdasarkan hasil penelitian idEA, 95 persen pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sosial, hanya 19 persen yang menggunakan marketplace.

 

"Kalah bersaing karena strategi, ini sudah menjadi risiko bisnis. Tapi kalau kalah bersaing karena tidak ada level playing field atau kesetaraan itu amat disayangkan. Padahal justru platform lokal mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing," tegasnya.

 

Baca:

 

Untung juga menilai terdapat hal yang kontradiktif ketika pemerintah mengeluarkan PMK 210/2018. Di satu sisi pemberlakukan aturan ini menggenjot penerimaan pajak dalam jangka pendek, tetapi di sisi lain pemberlakuan tanpa pandang bulu diduga akan menyurutkan pengusaha UMKM untuk bertahan dan terus berkembang.

 

Pada akhirnya, target jangka panjang untuk mendapatkan sumbangan pertumbuhan ekonomi dari UMKM dan online dikhawatirkan menjadi lebih berat. Atas dasar pertimbangan itu pula, Untung meminta pemerintah untuk menunda implementasi e-commerce pada April mendatang. Ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kewajiban penggunaan NPWP bagi seluruh pelaku e-commerce.

 

"Kami tidak menolak, tapi meminta penundaan implementasinya. Bagi pelaku usaha yang omsetnya tidak masuk ke dalam kategori Pendapatan Kena Pajak (PKP), apa harus wajib bikin NPWP? Ini 'kan ribet. Seharusnya pemerintah tidak pukul rata. Jadi seperti ada layer pengusaha e-commerce seperti apa yang wajib menggunakan NPWP. Maka kami meminta para pemamgku kepentingan untuk mencari jalan tengah dalam implementasinya," ungkap Untung.

 

Hal senada disampaikan oleh Head of Legal Blibli.com, Yudi Pramono. Yudi mengklaim bahwa selama Blibli.com beroperasi di Indonesia, pihaknya selalu meminta NPWP kepada merchant yang ingin bergabung. Hasilnya, tak semua merchant memiliki NPWP. "Kita selalu ingatkan NPWP tolong dilengkapi, tapi banyak yang katanya tidak punya. Mungkin omsetnya tidak seberapa makanya tidak mau mengurus NPWP," kata Yudi.

 

Yudi turut menyesalkan singkatnya waktu yang diberikan pemerintah untuk mengimplementasikan PMK 210/2018, yang dinyatakan berlaku pada April 2019 mendatang. Bagi Yudi, mengumpulkan NPWP sesuai aturan terbaru tak bisa dijadikan persoalan sepele. Pelaku usaha perlu diberikan edukasi agar memahami pentingnya kepemilikan NPWP.

 

"Ya setidaknya implementasi tahun depan, ini kan April. Terlalu singkat," katanya.

Tags:

Berita Terkait