Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik
Kolom

Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik

Tak bisa dipungkiri selain penindakan atas regulasi yang dikeluarkan masih sangat lemah, pola pendekatan konflik di dalam masyarakat pun harus diubah. Dari yang bersifat pembalasan, menjadi pemulihan, dari Restitutif menjadi Restoratif.

Bacaan 2 Menit

Tidak hanya yang menyangkut sisi hukum publik, data yang tidak kalah mencengangkan juga dijumpai dalam segi hukum privat. Upaya mediasi yang diwajibkan untuk perkara Perdata berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi menunjukan grafik yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari 6 Pengadilan yang menjadi Pilot Project Mediasi selama tahun 2011-2013[1] (PN Pusat, PN Utara, PN Cibinong, PN Depok, PN Bekasi, PN Bogor) tingkat keberhasilan proses mediasi tertinggi hanya dicapai oleh PN Cibinong dengan presentasi 12,68 % dari total perkara yang berhasil di mediasi, sedangkan di Pengadilan lain yang menjadi pilot project tersebut tingkat keberhasilan sangat rendah dengan margin tidak melebihi 2% dari total jumlah perkara.

Contohnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan total perkara yang masuk selama tahun 2011-2013 sejumlah 1.482 Perkara hanya berhasil mendamaikan 15 perkara (1,01%) atau Pengadilan Negeri Jakarta Utara dari jumlah perkara 1.383 perkara selama 2011-2013, hanya berhasil mendamaikan 2 buah perkara (0,1%).  

Banyaknya perkara perdata yang masuk ke ranah pengadilan dan gagal dengan proses mediasi menandakan bahwa memang mental masyarakat kita masih bersifat agresif dan alergi terhadap sistem penyelesaian perkara yang terdapat di luar pengadilan serta cenderung menempuh jalur hukum tanpa mengupayakan cara-cara lainnya yang lebih kekeluargaan.

Perubahan Mental Pendekatan Konflik
Tak bisa dipungkiri selain penindakan atas regulasi yang dikeluarkan masih sangat lemah, pola pendekatan konflik di dalam masyarakat pun harus diubah. Dari yang bersifat pembalasan, menjadi pemulihan, dari Restitutif menjadi Restoratif. Hal ini sudah diperkenalkan dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dimana pendekatan konflik dalam perkara anak diarahkan melalui mekanisme diversi atau pengalihan penyelesaian perkara di luar pengadilan demi terciptanya keadilan restoratif (restorative justice).

Jika ternyata embrio pemulihan ini telah dimulai untuk sistem pidana khusus yakni perkara anak yang berhadapan dengan hukum, maka sudah waktunya kini embrio ini dikenalkan dalam sistem hukum pidana umum kita. Revisi KUHP dan KUHAP yang tampaknya masih jauh dari kata selesai harus bisa menangkap perubahan yang positif ini untuk dimasukkan sebagai landasan penyelesaian perkara yang lebih kuat dari sekedar mengandalkan diskresi yang dimiliki oleh penegak hukum.

Perubahan ini harus diikuti juga dengan perubahan paradigma di dalam masyarakat, peristiwa lapor melapor di antara masyarakat yang kerap terjadi belakangan ini sudah mesti dihindarkan. Sudah menjadi gambaran umum dalam kehidupan sehari kita akan peristiwa saling melapor ke penegak hukum terkait hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan maupun musyawarah.

Institusi penegak hukum seakan dipaksa untuk menerima perkara-perkara “keranjang sampah” yang akhirnya berimbas pada penumpukan jumlah kasus serta inefisiensi manajemen penyelesaian perkara itu sendiri. Tentunya kita sepakat jika indikasi banyaknya jumlah konflik yang masuk untuk ditangani bukanlah merupakan gambaran sebuah negara hukum yang baik dan stabil, melainkan minimnya konflik yang terjadi di dalam masyarakat.

Tags: