Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik
Kolom

Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik

Tak bisa dipungkiri selain penindakan atas regulasi yang dikeluarkan masih sangat lemah, pola pendekatan konflik di dalam masyarakat pun harus diubah. Dari yang bersifat pembalasan, menjadi pemulihan, dari Restitutif menjadi Restoratif.

Bacaan 2 Menit

Pola pendekatan konflik inilah yang harus diubah dalam pandangan masyarakat, meminjam istilah revolusi mental ala Presiden Jokowi, program revolusi mental yang digagas oleh pemerintahan harus menemukan formula yang tepat dalam mengidentifikasi masalah ini. Mental pendekatan konflik di dalam masyarakat sudah harus diubah, tentunya jika melihat praktik dan contoh pelaksaan regulasi yang ada (Perma No. 2 tahun 2012 & Perma No. 1 Tahun 2008) yang tampaknya masih jauh dari kata ideal. Regulasi ada harus dibarengi dengan mental para stakeholder untuk melaksanakannya secara serius dan penuh dengan iktikad baik, karena sebaik-baiknya sebuah aturan jika dijalankan oleh pihak yang buruk maka akan tetap menjadi buruk.

Pada akhirnya sejalan dengan program revolusi mental yang digagas oleh Presiden Jokowi, roda-roda perubahan dan revolusi sudah harus dimulai dari sekarang, revolusi yang kini harus diaplikasikan bukan hanya pada tataran penyelenggara negara saja, namun juga secara holistik meliputi mental bangsa dan masyarakatnya. Revolusi mental penegak hukum yang bersih tanpa korupsi, mental pengambil kebijakan yang murni tanpa kolusi, dan mental masyarakat untuk saling memperbaiki tanpa menghakimi, yang akhirnya akan bermuara pada suatu tujuan demi pendekatan konflik yang lebih bernurani dan manusiawi.

* Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron


[1]Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH, LL.M, disampaikan dalam seminar “Perkembangan Mediasi di Pengadilan Indonesia”, PN Cibinong 21 Agustus 2013.

Tags: