Sejauh ini ketentuan dalam UU Fidusia berusaha untuk menjamin aaas-azas tersebut. Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 1999 dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, pada umumnya tidak bisa dikatakan tidak cukup dalam memperhatikan hal-hal tersebut.
Hanya saja ada beberapa hal perlu diperhatikan. Peran notaris misalnya, dengan adanya kantor pendaftaran fidusia yang telah mengambil alih sebagian besar peran notaris, membuat peran notaris tidak begitu signifikan. Dikhawatirkan justru akan menjadi disinsentif bagi azas sederhana dan biaya murah. Lagi pula jeda waktu antara pembuatan akta notaris dan aplikasi ke kantor registrasi juga menjadi potensi masalah. Sementara hanya fidusia yang pertama kali didaftarkan ke kantor registrasi yang merupakan fidusia yang diakui.
Lebih jauh lagi, catatan pada notaris yang berkenaan dengan lahirnya pembebanan fidusia tidak dapat diakses oleh publik. Berbeda dengan catatan pada kantor registrasi yang dinyatakan pada Pasal 18 UU No. 42 Tahun 1999 sebagai terbuka untuk umum yang pada kelanjutannya tidak dapat dimanfaatkan sama sekali oleh publik untuk mengetahui status pembebanan jaminan atas suatu barang.
Masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih jauh sehubungan dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1999, dan kita telah mendiskusikan betapa rezim hukum jaminan dapat menjadi amat berguna bagi ekonomi nasional secara makro. Oleh karena itu, perlu kiranya ada suatu komitmen yang kuat dari pihak-pihak terkait, seperti Menteri Kehakiman dan HAM dalam menjalankan administrasi kantor registrasi fidusia. Juga Mahkamah Agung agar memiliki persepsi yang sama atas visi dan misi UU fidusia ini, sehingga fidusia dapat diterima luas sebagai suatu instrumen jaminan yang diterima luas.
Aria Suyudi adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)