Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Pelanggaran HAM
Utama

Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Pelanggaran HAM

Karena kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai persoalan publik, bukan lagi persoalan domestik (privat).

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam Training Pembekalan Hukum 2021 yang diselenggarakan oleh Koneksi dan Fatayat Nahdlatul Ulama secara daring, Kamis (23/7/2021). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam Training Pembekalan Hukum 2021 yang diselenggarakan oleh Koneksi dan Fatayat Nahdlatul Ulama secara daring, Kamis (23/7/2021). Foto: RES

Banyak yang beranggapan kekerasan terhadap perempuan bukan pelanggaran HAM. Padahal, kekerasan terhadap perempuan selain pidana, juga bentuk pelanggaran HAM yang berbasis gender yang mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan baik yang terjadi di area publik maupun domestik.

Lalu, bagaimana cara penanganan bagi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan berbasis gender? Hal ini dibahas dalam acara Training Pembekalan Hukum 2021 yang dilaksanakan oleh Koneksi dan Fatayat Nahdlatul Ulama secara daring, Kamis (23/7/2021).

LSM Rifka Annisa, Nurul Kurniati mengatakan kekerasan berbasis gender bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Namun perempuan dan anak lebih banyak menjadi korban karena perbedaan gender lebih banyak menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Seperti, marginalisasi (peminggiran/pemiskinan); subordinasi (penomorduaan); strereotipe (pelabelan negatif); double burden (beban ganda); violence (kekerasan).

“Alasan kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi dan berkembang dikarenakan tidak dianggap sebagai masalah pelanggaran HAM atau kemanusiaan,” kata Nurul Kurniati dalam acara Training Pembekalan Hukum 2021 yang digelar Koneksi dan Fatayat Nahdlatul Ulama secara daring, Kamis (23/7/2021). (Baca Juga: 8 Permasalahan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum)

Nurul menilai kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai persoalan publik bukan domestik (privat) karena jika korban tidak mengadukan perkaranya tidak bisa diajukan ke pengadilan. Selain itu, masih kuatnya anggapan jika pelanggaran atau kekerasan terjadi pada kaum perempuan dianggap sebagai kesalahan perempuan sendiri. “Seringkali perempuan dan anak dianggap bukan bagian dari persoalan HAM karena masuk wilayah domestik,” kata dia.

Nurul menjelaskan perempuan bagian dari kelompok rentan terhadap pelanggaran HAM. Peperangan dan konflik bersenjata sebagai bukti bahwa perempuan adalah korban terbesar pelanggaran HAM, seperti pemerkosaan, perdagangan orang, prostitusi, dan masih banyak hal terjadi diskriminasi terhadap perempuan.

Karena itu, ada sejumlah hak-hak korban kekerasan, diantaranya hak untuk dihormati harkat dan martabatnya; hak atas pemulihan kesehatan, psikologi, dan penderitaan yang dialami korban; hak menentukan sendiri keputusannya; hak mendapatkan informasi; hak atas kerahasiaan identitasnya; hak atas kompensasi; hak atas rehabilitasi sosial; hak atas rehabilitasi sosial; hak penanganan pengaduan; hak untuk mendapatkan kemudahan dalam proses peradilan; hak atas pendampingan.

Adapun pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kekerasan terhadap perempuan adalah negara dengan institusi atau lembaga di dalamnya termasuk aparat penegak hukum. Selain itu, masyarakat, tokoh/pemuka masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pendamping atau lembaga bantuan hukum, organisasi perempuan (komnas perempuan), lembaga perlindungan anak, KPAI.

Hukumonline.com

LSM Rifka Annisa, Nurul Kurniati (bawah) saat memaparkan materi pelatihan. 

Bantuan hukum berbasis gender

Aktivis LBH APIK, Tuani mengatakan penanganan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan Bantuan Hukum Gender Struktural (BHGS). Konsep ini adalah cara bagaimana memberikan bantuan hukum dalam sistem yang tidak adil dan bias gender yang dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan yang kasusnya sedang ditangani. Pengalaman menangangi kasus ini untuk melakukan perubahan hukum dan pemberdayaan sumber daya hukum bagi masyarakat.

“Kriteria penanganan secara BHGS ialah perempuan miskin, buruh perempuan, pekerja rumah tangga, lansia, penyandang disabilitas, perempuan yang dilacurkan, kelompok rentan dan marginal lainnya,” ujar Tuani dalam kesempatann yang sama.

Ia menjelaskan BHGS menyasar problem struktural dan relasi kuasa yakni melihat akar persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami perempuan, kelompok rentan, dan marjinal lain. Hal ini disebabkan sistem hukum dan sosial yang tidak adil. Hukum lebih sebagai alat legitimasi bagi penguasa dan kelompok dominan untuk menguasai dan mengontrol berbagai sumber daya.

“Perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, dan bentuk-bentuk ketidakadilan gender lain akibat relasi kuasa yang timpang di masyarakat dalam sistem budaya patriarki,” kata dia.

Untuk itu, penting untuk memastikan korban diperlakukan sebagai subjek (riwayat seksual tidak dijadikan unsur atau faktor memberatkan); memastikan perempuan pelaku kekerasan mendapat perlakuan yang adil dan setara sejak proses penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan serta resosialisasinya; melakukan koordinasi dengan lembaga layanan bagi saksi dan korban.

Tuani juga menjelaskan BHGS memastikan akses perempuan terhadap keadilan dengan beberapa pertanyaan kunci, diantaranya bagaimana perempuan ditempatkan dalam hukum? Bagaimana perempuan diperlakukan oleh penegak hukum? Bagaimana proses dan putusan pengadilan atas perkaranya disidangkan pengadilan? Adakah mekanisme penyelesaian lain yang lebih menguntungkan perempuan?

Hukumonline.com

Aktivis LBH APIK, Tuani saat memaparkan materi pelatihan. 

Cara kerja BHGS, kata dia, kasus-kasus yang ditangani sebagai entry point untuk melihat permasalahan yang dialami perempuan saat berhadapan dengan sistem hukum dan sistem sosial yang ada; melakukan analisis terhadap sistem hukum dengan perspektif perempuan; mengupayakan perubahan sistem hukum melalui advokasi kebijakan agar lebih adil dan demokratis yang dilihat dari pola relasi kekuasaan yang ada di masyarakat.

Konsep ini menggunakan feminist legal teory yakni menguji sejauh mana hukum pada umumnya telah gagal memperhitungkan pengalaman, nilai lebih perempuan, keberagaman, dan kelas sosial yang ada; melihat implikasi konstruksi sosial terhadap peraturan-peraturan dan membongkar asumsi-asumsi dibaliknya; dan bagaimana menggunakan hukum untuk mengkoreksi situasi ketertindasan perempuan.

Dia menambahkan karakteristik dasarnya mempertanyakan netralitas dan objektivitas hukum dan mengkaitkan sistem hukum dengan konteks sosial ekonomi, budaya, politik yang menjadi dasar asumsi-asumsi yang dibangun dalam rumusan hukum dalam prakteknya (hukum sebagai produk masyarakat, budaya, politik). Misalnya, sebagai produk politik dan sistem hukum lebih mengakomodir kepentingan kelompok dominan dan sebaliknya mengabaikan kelompok minoritas dan marginal.

Tags:

Berita Terkait