Penerapan Qanun Jinayah Dinilai Langgar HAM dan KUHP
Terbaru

Penerapan Qanun Jinayah Dinilai Langgar HAM dan KUHP

Pemerintah pusat (Kemendagri) diminta meninjau ulang peraturan Qanun Jinayah di Aceh karena penerapan cenderung merugikan perempuan atau anak korban kekerasan seksual.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penerapan Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah kembai menjadi sorotan dan kritikan pubik. Pasalnya, penerapan hukum pidana yang hanya berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) ini dinilai melanggar HAM dan cenderung merugikan kaum perempuan dan anak dalam kasus-kasus kekerasan/pelecehan seksual.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Meneger Nasution menilai penerapan qanun jinayah menuai kritik tajam dari banyak kalangan, khususnya terhadap penerapan hukuman cambuk dan qadzaf. Hukum cambuk dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM). Sedangkan qadzaf dinilai dapat merugikan kaum perempuan. Dalam Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan minimal 4 saksi.

“Hal tersebut dianggap dapat merugikan kaum wanita,” ujar Meneger dalam webinar bertajuk “Mengkaji Kedudukan Qanun dalam Perundang-undangan Nasional: Komitmen Negara Melindungi Perempuan dan Anak dari Kasus Kekerasan Seksual”Rabu (2/6/2021). (Baca Juga: Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual)

Dia menilai hukuman cambuk dianggap melanggar HAM karena jaminan perlindungan HAM tak boleh menerapkan hukum secara kejam. Dari sisi regulasi, hukuman cambuk dianggap bertentangan dengan konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Tak hanya itu, hukum cambuk bertentangan dengan KUHP karena KUHP tidak mengenal adanya hukuman cambuk sebagai salah satu jenis pemidanaan (hukuman pidana).

Sementara qadzaf dianggap berpotensi menguatkan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dia menjelaskan qadzaf dianggap merugikan perempuan ketika seorang perempuan korban pemerkosaan atau zina melaporkan tindak tersebut, maka korban harus menghadirkan alat bukti dan minimal 4 saksi. Bila korban tak memiliki bukti, maka korbanlah yang akan dituduh melakukan tindakan tersebut.

“Kejamnya, pelaku terduga pemerkosaan dapat bebas dari jerat hukum hanya dengan melakukan sumpah sebanyak 5 kali. Dengan sumpah pertama hingga keempat yang menyatakan bahwa tuduhan atas dirinya terkait pemerkosaan merupakan sebuah dusta, serta sumpah kelima yang menyatakan bahwa pelaku bersedia mendapatkan laknat Allah apabila ia berbohong atas sumpahnya,” kata dia.

Hal itu dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 yang menyebutkan, “Setiap orang yang dituduh telah melakukan pemerkosaan berhak mengajukan pembelaan diri bahwa dia tidak melakukan Pemerkosaan”. Sementara ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal alat bukti adalah sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, maka orang yang dituduh dapat membela diri dengan melakukan sumpah pembelaan sebanyak 5 (lima) kali”. Kemudian ayat (3) menyebutkan, “Sumpah yang pertama sampai keempat menyatakan bahwa dia tidak melakukan pemerkosaan dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah dusta”. Selanjutnya ayat (4) menyebutkan, “Sumpah yang kelima menyatakan bahwa dia rela menerima laknat Allah, apabila dia berdusta dengan sumpahnya”.

Tags:

Berita Terkait