​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi
Tokoh Hukum 2018:

​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi

​​​​​​​Ketiganya memiliki cara berjuang yang berbeda-beda, sesuai dengan kewenangan dan profesi mereka, terus konsisten meski hambatan yang dihadapi tak mudah.

ABE/HMQ/NEE
Bacaan 2 Menit

 

  1. Artidjo Alkostar

Nama yang satu ini mungkin akan selalu diingat oleh para terpidana kasus korupsi. Ya, siapa yang tak mengenal Artidjo Alkostar, sosok hakim agung dengan putusan-putusan ‘sangarnya’ dalam mengadili para koruptor? Selama 18 tahun bertugas sebagai hakim agung, fakta berbicara bahwa di tangan Artidjo Alkostar, hukuman seorang terdakwa bisa melejit naik atau dari bebas bisa menjadi dihukum. ‘Sakitnya’ ketukan palu Artidjo, dirasa wajar membuat terdakwa untuk berpikir ulang mengajukan Kasasi di Mahkamah Agung (MA).

 

Setidaknya, beberapa terdakwa yang pernah merasakan ‘sakitnya’ palu Artidjo adalah mantan Menteri ESDM Jero Wacik. Berharap hukumannya mendapat keringanan, Artidjo justru memperberat masa hukuman Jero sampai 2 kali lipat, dari sebelumnya 4 tahun penjara menjadi 8 tahun.

 

Hal yang sama dialami mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hassan Ishaq, yang hukumannya diperberat dari 16 tahun menjadi 18 tahun, bahkan ditambah sanksi pencabutan hak politik. Kemudian mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh, dari vonis 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum divonis 14 tahun dari sebelumnya 8 tahun. Paling mencolok adalah Akil Mochtar, mantan Ketua MK dijatuhi Artidjo vonis seumur hidup. (Baca Juga: MA Perberat Vonis Irman-Sugiharto Jadi 15 Tahun Bui)

 

Sebagai ‘penjaga gawang terakhir’ pemberantasan tindak pidana korupsi, Artidjo dikenal tegas. Dia memegang teguh prinsip suatu aturan yang tidak berasaskan keadilan akan memperpanjang barisan korban ketidakadilan, begitupula halnya dengan suatu putusan. Hanya saja di mata Artidjo, sekalipun putusan pengadilan tidak akan pernah menjawab makna keadilan yang begitu luas, setidaknya ia berharap suatu putusan dapat berkontribusi agar roh dari suatu Undang-undang bisa tercapai.

 

Roh dari UU Anti Korupsi, sejatinya merupakan penegasan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merampas hak-hak dasar rakyat dan merugikan keuangan negara, sehingga melalui UU tersebut diharapkan dapat sebanyak-banyaknya mengembalikan keuangan negara sekaligus memulihkan hak-hak dasar rakyat yang tercederai.

 

Hukumonline.com

Artidjo Alkostar di halaman gedung MA, sebelum pensiun. Foto: RES

 

Adapun putusan Artidjo soal pencabutan hak politik terpidana korupsi yang pernah ia jatuhkan, didasari lantaran agar masyarakat di kemudian hari tidak mudah terkecoh, ‘mana orang yang layak dipilih dan mana yang tidak layak’. Sekalipun ada beberapa kritikan yang muncul ketika itu.

 

Artidjo tetap mantap dengan keyakinan yang dipegang teguhnya. Sekadar catatan dari Artidjo, seorang tetangga dari Hakim Agung Ad Hoc Tipikor, MS. Lumme di Papua, melakukan Korupsi dengan vonis 4 tahun, tapi tak ada perintah ditahan. Singkat cerita, tetangga MS Lumme itu pindah ke kampungnya, mencalonkan diri dan akhirnya terpilih kembali.

Tags:

Berita Terkait