KPK Kecewa KPU Tak Larang Mantan Napi Korupsi Nyalon Pilkada
Berita

KPK Kecewa KPU Tak Larang Mantan Napi Korupsi Nyalon Pilkada

KPU khawatir kalau tetap memaksakan mengatur larangan mantan terpidana korupsi ikut dalam pilkada dalam peraturan KPU, bisa berujung uji materi di MA karena dianggap bertentangan dengan putusan MK dan UU Pilkada.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung KPU. Foto: RES
Gedung KPU. Foto: RES

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengaku prihatin atas langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memasukkan aturan larangan mantan terpidana perkara korupsi maju dalam pemilihan kepala daerah dalam Peraturan KPU.

 

"Ya prihatin saja. Kalau orang pernah jadi koruptor apalagi terpidana dalam perjalanannya kita tahu yang orang sebut mentalitasnya seperti apa kok masih dipertahankan? Kan mestinya tidak," ucap Agus usai menghadiri puncak peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 di gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12/2019). Baca Juga: KPU Dorong Revisi UU Pilkada terkait Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada

 

Agus menyayangkan peraturan sebelumnya yang melarang mantan terpidana perkara korupsi maju dalam pilkada tidak dijalankan secara konsisten. "Jadi, untuk pencalonan berikutnya mesti dilarang, mestinya aturan itu harusnya konsisten," kata Agus.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan bahwa langkah KPU itu merupakan kemunduran dalam berdemokrasi. "Menurut saya itu adalah kemunduran dalam berdemokrasi. Untuk menjadi pejabat publik seharusnya tidak memiliki catatan kriminal apalagi pernah menjadi terpidana korupsi," kata Syarif.

 

Selain itu, ia menyarankan agar KPU mengumumkan curriculum vitae (CV) lengkap dan semua rekam jejak calon kepala daerah melalui situs resmi KPU dan media massa. "Agar masyarakat mengetahui calon pejabat yang akan mereka pilih," ujar Syarif.

 

KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

 

Hanya saja, KPU hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana ikut dalam pilkada, yaitu mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak, yang tertuang dalam Pasal 4 ayat H.

 

KPU menambahkan satu pasal dalam Peraturan KPU yang mengimbau partai politik untuk mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi, dan aturan ini dituangkan dalam Pasal 3A ayat (3) dan (4).

 

Pasal 3A ayat (3) Peraturan KPU tersebut menyebutkan dalam seleksi bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.

 

Kemudian dalam Pasal 3A ayat (4) disebutkan bahwa bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.

 

Padahal, sebelumnya KPU telah mewacanakan menerbitkan peraturan KPU terkait larangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagai calon kepala daerah. KPU sudah berupaya melobi Presiden dan Komisi II DPR agar bisa memberlakukan aturan itu dalam proses pendaftaran Pilkada 2020 mendatang. Hanya saja, tidak diaturnya larangan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam peraturan KPU, KPU khawatir melanggar putusan MK dan UU Pilkada.

 

“Normanya mau diatur di Peraturan KPU atau UU, substansinya tidak ada yang menolak. Kalau mau dimasukkan dalam UU, saya mendorong agar revisi UU Pilkada bisa dilakukan dengan cepat sebelum pencalonan bisa selesai,” ujar Ketua KPU Arief Budiman di Kompleks Gedung Parlemen Jakarta, Senin (11/11/2019) lalu. Baca Juga: Alasan ‘Novum’ Ini, KPU Bakal Larang Mantan Koruptor Ikut Pilkada

 

Arief menerangkan pencalonan pilkada serentak bakal dimulai pada Juni 2020. Menurutnya, KPU dan DPR (Komisi II) sepakat dalam perhelatan pilkada ini berupaya mendapat kepala derah yang bersih dan jujur. Pihaknya berharap ketika ada kesamaan persepsi dan kesepakatan mengenai larangan mantan terpidana korupsi ikut pilkada secepatnya merevisi UU Pilkada dengan memasukkan pasal larangan eks narapidana korupsi maju dalam pilkada.

 

“Komisi II memiliki pandangan yang sama dengan KPU tentang perlunya keselarasan peraturan KPU dengan UU di atasnya (UU Pilkada). Ruang kosong dalam UU Pilkada terkait ketiadaan aturan larangan eks napi korupsi maju pilkada perlu diisi.

 

Dia khawatir jika aturan larangan mantan terpidana korupsi ini hanya dituangkan dalam peraturan KPU berpotensi diuji materi ke Mahkamah Agung (MA). Berbeda, jika terdapat aturan larangan itu secara tegas dalam UU Pilkada bisa mendapatkan kepala daerah yang benar-benar bersih dari praktik korupsi.

 

Menurutnya, ada dua alasan mengapa KPU mengusulkan aturan larangan ini. Pertama, dalam beberapa kasus, ada calon kepala daerah dalam pemilihan sebelumnya ditangkap, namun terpilih kembali memenangkan pilkada. Kemudin tokoh tersebut ditahan ketika terpilih, sehingga tidak bisa memimpin jalannya pemerintahan daerah dan posisinya digantikan orang lain. Kasus seperti ini terjadi di Tulung Agung Jawa Timur dan Provinsi Maluku Utara.

 

"Jadi sebetulnya apa yang dipilih oleh pemilih (di daerah tersebut) menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan yang dipilih, tetapi orang lain," ujar Arief.

 

Kedua, ada pemimpin daerah yang sudah pernah ditahan dan bebas, lalu mencalonkan diri kembali dalam pilkada dan tertangkap karena korupsi lagi. “Nah KPU punya fakta itu, punya data itu,” imbuhnya.

 

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung prinsipnya, Komisi II sependapat dengan usulan KPU yang ingin memasukkan aturan larangan mantan terpidana ikut pilkada. Hanya saja, Komisi II mengingatkan produk aturan KPU tak boleh bertentangan dengan UU Pilkada dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).  

 

“Prinsipnya kita sepakat, kita punya komitmen secara terus menerus memerangi korupsi dan mendorong penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang bersih dan bebas korupsi,” kata dia.

 

Politisi Partai Golkar itu mengingatkan jika hanya memasukan aturan larangan eks narapidana korupsi maju pilkada dalam Peraturan KPU, konsekuensi hukumnya bisa diuji materi ke MA oleh calon kepala daerah yang terganjal aturan tersebut. “KPU agar tidak memaksakan memasukkan norma tersebut tanpa adanya cantolannya dalam UU Pilkada,” ujarnya mengingatkan.

Tags:

Berita Terkait