Kritik ‘Korting’ Vonis Mati dalam Kasus Narkoba, Komisi III Bakal Bentuk Panja
Terbaru

Kritik ‘Korting’ Vonis Mati dalam Kasus Narkoba, Komisi III Bakal Bentuk Panja

Komisi III bakal bentuk Panja Penegakan Hukum dengan mengundang sejumlah institusi terkait. Diduga ada salah mengartikan penerapan Pasal 241 KUHAP oleh majelis hakim banding.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi terpidana kasus narkoba. Hol
Ilustrasi terpidana kasus narkoba. Hol

Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang menganulir hukuman mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika dan obat-obatan (narkoba) terlarang menjadi hukuman belasan tahun mendapat sorotan dari kalangan parlemen. Sebelumnya 6 terpidana mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021 lalu. Selain itu, putusan yang menganulir hukuman mati dalam kasus narkoba juga dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten.   

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jazilul Fawaid menyayangkan anulir vonis hukuman mati menjadi hukuman penjara terhadap terdakwa pemilik kasus narkoba sebesar 800 Kg dan vonis hukum mati terhadap 6 terdakwa yang diubah hukuman menjadi belasan tahun penjara oleh PT Bandung. “Hukuman pidana mati bagi pelaku pengedar narkoba dirasa tepat, seharusnya zero tolerance untuk pengedar narkoba,” ujar Jazilul Fawaid, Senin (28/6/2021).

Dia meminta penegak hukum termasuk majelis hakim tidak setengah hati dalam upaya pemberantasan narkoba. Apalagi Indonesia telah masuk tahap darurat narkoba. “Pidana mati bagi pelaku pengedar narkoba dianggap tepat, bukan malah menganulir hukuman menjadi seumur hidupa atau 20 tahun,” tegasnya.  

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai penerapan hukuman mati terhadap pengedar narkoba bakal menimbulkan efek jera. Bahkan, menjadi faktor penghambat laju tingkat kejahatan narkoba di Indonesia ke depannya.

Ketua Komisi III DPR Herman Herry prihatin dengan dianulirnya pidana hukuman mati terhadap 6 terpidana kasus narkoba, kepemilikan sabu sabu seberat 402 kilogram. Dia menilai “korting” hukuman mati menjadi belas tahun penjara telah melukai rasa keadilan masyarakat karena dampak narkoba sangat merusak generasi muda bangsa. Dia menilai 1 kilogram sabu sabu dapat dikonsumsi 4 ribu orang. Artinya, terdapat 1,6 juta anak bangsa terancam masa depannya.  

“Saya menyayangkan putusan PT Bandung dan PT Banten yang menerima banding yang dimohonkan para terdakwa kasus narkoba tersebut. Sebab korting hukuman itu seolah mengesampingkan kerja-kerja Satgas Khusus Merah Putih Polri dalam sekejap,” kata dia.

Anggota Komisi III DPR Supriansa mendorong Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa hakim tinggi yang mengkorting hukuman pelaku kasus narkoba tersebut. “Semoga hakim yang sering memutus perkara narkoba dengan hukuman rendah ini tidak ada keluarganya yang terjangkiti narkoba,” sindirnya.

Senada, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto meski menghormati independensi hakim dalam memutus sebuah perkara. Namun. mengkorting hukuman kejahatan narkoba amat mengusik nalar dan logika sehat publik. Sebab, daya rusak narkoba terhadap generasi muda sangat besar. Dia pun meminta masyarakat mengawasi setiap perilaku hakim. Apabila terbukti toleran terhadap kejahatan narkoba, laporkan ke ke Komisi Yudisial (KY).

“Saya berharap KY terus melakukan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan terhadap hakim-hakim yang berpotensi berperilaku menyimpang,” katanya.

Bentuk Panja

Atas kejanggalan vonis ini, Komisi III DPR bakal membentuk Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum, khususnya penanganan kasus narkoba di lembaga peradilan. Herman Herry menegaskan bakal segera menggelar pertemuan dengan sejumlah lembaga terkait untuk menyamakan visi pemberantasan narkoba. “Dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penegakan hukum, khususnya tindak pidana narkotika, saya sebagai Ketua Komisi III DPR RI akan menginisiasi dibentukan Panja Penegakan Hukum terkait Tindak Pidana Narkotika,” lanjut Herman Herry.

Komisi III DPR bakal mengajak pihak Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal (Ditjen) Lembaga Pemasyarakatan, dan penegak hukum lainnya agar duduk bersama membahas dan merumuskan persoalan penanganan kasus narkoba secara objektif.

Dia berharap dengan adanya kesamaan visi dan pandangan dalam penanganan kasus narkoba antara institusi penegak hukum, pemberantasan kejahatan narkoba dapat berjalan efektif ke akar-akarnya. Bila terdapat usulan perubahan terhadap legislasi yang mengatur penanganan narkoba bakal menjadi pertimbangan Komisi III. “Kami di DPR tentu juga siap jika dalam pembahasan ini dibutuhkan perubahan legislasi,” katanya.

Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai perubahan putusan oleh majelis hakim banding dalam kasus narkoba ini, diduga salah mengartikan penerapan Pasal 241 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh majelis hakim banding. Menurutnya, penerapan Pasal 241 KUHAP seharusnya diikuti persyaratan lain.

Pria yang juga menjabat Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu berpendapat Pasal 241 KUHAP diterapkan bila semua hal dalam pemeriksaan hakim banding menemukan adanya kelalaian dalam penerapan hukum acara atau adanya kekeliruan dalam putusan judex factie, baru pengadilan tinggi bisa memeriksa dan mengadili sendiri dengan menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan pengadilan tingkat pertama.   

Pasal 241 ayat (1) KUHAP menyebutkan, Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148”.

Misalnya, majelis hakim banding cenderung sependapat atau setuju dengan pertimbangan hukum pengadilan negeri terkait dengan unsur-unsur pidana, alat bukti yang dinilai memiliki kekuatan pembuktian. Namun, kalau tidak sepakat tentang penjatuhan hukuman pidana dan lamanya masa pidana, ini ini menjadi kontradiktif. “Fakta diakui, bukti diakui, pertimbangan hukum diakui. Cuma gak sepakat dengan lama hukuman atau jenis hukuman saja?”

Seperti diketahui, PT Bandung mengabulkan permohonan banding yang dimohonkan 6 orang terdakwa melalui kuasa hukumnya dalam kasus narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram yang dikemas mirip bola. Tindak pidana penyelundupan ini berhasil digagalkan oleh Satga Khusus Merah Putih Polri pada Rabu, 3 Juni 2020 lalu.  

Para terpidana sebelumnya mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021. Tapi dalam putusan permohonan bandingnya, tiga terpidana diantaranya hanya mendapat hukuman 15 tahun penjara yakni Ilan, Basuki Kosasih dan Sukendar alias Batak. Sementara tiga lain menerima hukuman 18 tahun penjara Yakni Nandar Hidayat, Risris Risnandar dan Yunan Citivaga.

Sementara PT Banten juga mengabulkan permohonan banding yang diajukan terdakwa Bashir Ahmed bin Muhammad Umeae (warga negara Pakistan) dan Adel bin Saeed Yaslam Awadh (warga negara Yaman). Dalam amar putusannya, PT Banten menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Padahal di tingkat Pengadilan Negeri Serang, kedua terdakwa diganjar hukuman pidana mati. Keduanya dinilai secara sah terbukti dan bersalah bermufakat jahat, menerima, menjual, menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram. Yakni 800 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan, Februari 2020 lalu.

Tags:

Berita Terkait