MA Keluarkan SK KMA Sertifikasi Lembaga Mediator Non Hakim
Berita

MA Keluarkan SK KMA Sertifikasi Lembaga Mediator Non Hakim

​​​​​​​Proses Sertifikasi Lembaga Penyelenggara Mediator Non Hakim dilakukan secara elektronik atau online.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA tampak dari depan. Foto: RES
Gedung MA tampak dari depan. Foto: RES

Demi tingkatkan kualitas pelaksanaan mediasi, khususnya mediasi oleh non hakim di pengadilan, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan kebijakan berupa Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. 117/KMA/SK/VI/2018 mengenai Tata Cara Pemberian dan Perpanjangan Akreditasi Lembaga Penyelenggara Sertifikasi Mediator Bagi Mediator Non Hakim.

 

Sesuai dengan peraturan MA (Perma) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator, setiap mediator harus mengikuti dan dinyatakan lulus pelatihan sertifikasi mediator yang diselenggaraan oleh lembaga sertifikasi terakreditasi. Akreditasi lembaga sertifikasi ini dilakukan oleh MA atau tim akreditasi yang ditunjuk oleh MA.

 

SK KMA ini mengatur dari mulai tim akreditasi, persyaratan memperoleh akreditasi, prosedur pengajuan permohonan akreditasi, verifikasi permohonan, hingga proses pengajuan perpanjangan akreditasi yang dilakukan secara elektronik.

 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan, prosedur dan tata cara pengajuan serta perpanjangan akreditasi diseragamkan dan diproses melalui satu pintu yang ditunjuk oleh SK KMA. “Proses sertifikasi lembaga penyelenggara mediasi non hakim ini dikelola oleh MA serta berada di bawah Biro Hukum dan Humas MA,” kata Abdullah di Jakarta, Kamis (23/08).

 

SK KMA ini dikeluarkan, kata Abdullah, disebabkan oleh banyaknya mediator yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga standar kualitasnya tidak sama. Dan, tujuan pelaksanaan akreditasi melalui SK KMA, untuk memberikan pembinaan dan penjaminan kualitas penyelenggara sertifikasi mediator oleh lembaga sertifikasi mediator.

 

“Secara sederhana lembaga penyelenggara pelatihan sertifikasi mediator berada di luar Pusat Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan oleh MA” ujarnya.

 

Mengenai tim akreditasi yang menjalankan proses akreditasi, merupakan perpanjangan tangan Ketua MA. “Tim ini diketuai oleh Ketua Kamar Pembinaan MA dan beranggotakan perwakilan dari satuan-satuan kerja di MA,” sebutnya.

 

Baca:

 

Selain itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga penyelenggaran sertifikasi mediator yang hendak mengajukan permohonan akreditasi, Abdullah menyebut persyaratan ini mencakup eksistensi lembaga. Izin pendirian lembaga tersebut harus didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Syarat lainnya, terdapat AD ART lembaga, ketersediaan kurikulum pelatihan, harus memiliki tenaga pengajar sendiri, metode pengajaran, pengalaman menyelenggarakan pelatihan dan kode etik bagi mediator.

 

“Semua proses sertifikasi dilakukan secara elektronik atau online. Namun, jika terdapat beberapa langkah yang dibutuh untuk melakukan sertifikasi selain secara elektronik maka tim akreditasi akan terjun langsung ke lapangan,” katanya.

 

Ia juga mengatakan, prosedur pengajuan permohonan akreditasi, termasuk juga dalam proses verifikasi permohonan dan masa berlakunya status akreditas yang diperoleh oleh lembaga penyelengaran sertifikasi mediator.

 

“Proses ini juga dilakukan oleh pemohon dan tim akreditas sampai keluarnya sertifikasi oleh MA terhadap akreditasi suatu lembaga mediator non hakim. Dan, proses pengajuan perpanjangan akreditasi ialah bagi yang telah mendapatkan status akreditasi berdasarkan keputusan ini,” katanya.

 

Tidak hanya itu, selain mengatur tata cara pemberian dan perpanjangan akreditasi lembaga penyelenggara sertifikasi mediator, SK KMA ini juga mengatur tata cara monitoring dan evaluasi lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari MA. Tata cara monitoring dan evaluasi mencakup kewajiban pelaporan dan konsekuensi apabila dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi ditemukan pelanggaran atau penyimpangan dalam pelaksanaan sertifikasi mediator.  

 

“Ketentuan ini juga mengatur tentang kepatuhan lembaga sertifikasi mediator dalam menyelenggarakan pelatihan mediasi agar dapat menghasilkan output dan outcome sebagaimana yang diharapkan,” kata dia.

 

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Univesitas Airlangga Bayu Rekso Wibowo mengatakan, bahwa data mediasi di persidangan yang berhasil secara nasional tidak sampai 4%. Mediasi yang diharapkan menjadi solusi alternative ternyata sepi prestasi. Padahal, upaya mediasi sudah dikenal dalam ketentuan perdamaian (dading) dalam Pasal 130 HIR. Ketentuan yang sama ditemukan dalam Pasal 154 RBg. (Baca juga: Mediasi di Persidangan, Pilihan Solusi yang Belum Menjadi Solusi)

Tags:

Berita Terkait