Masalah Bahasa dalam SEMA No.3 Tahun 2023
Kolom

Masalah Bahasa dalam SEMA No.3 Tahun 2023

Rumusan SEMA dapat diikuti atau tidak diikuti. Fungsinya sebagai pedoman yang bukan peraturan bersifat memaksa.

Bacaan 4 Menit
Basuki Rekso Wibowo. Foto: Istimewa
Basuki Rekso Wibowo. Foto: Istimewa

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan(SEMA No.3 Tahun 2023).Rumusan Hukum Kamar Perdata pada Sub 1 Perdata Umum menyatakan, “Lembaga swasta Indonesia dan atau perseorangan Indonesia, yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing dalam Bahasa asing yang tidak disertai dengan terjemahan Bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak.

Saya akan memberi beberapa catatan atas rumusan tadi. Pertama sekali harus diingat bahwa SEMA— termasuk SEMA No. 3 Tahun 2023—kedudukannya sebagai pedoman. Ia bukan sebagai peraturan bersifat memaksa/imperatif. Oleh karena itu, secara tertantif SEMA tersebut dapat diikuti namun dapat pula tidak diikuti.

Baca juga:

Hal itu sejalan dengan prinsip kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan memutus setiap perkara sesuai dengan karakteristik dan keunikan masing-masing. Dalam banyak kasus, Hakim pemeriksa perkara—baik di tingkat pertama maupun banding, serta beberapa di tingkat kasasi—dalam putusannya telah mengabaikan SEMA. Mereka membuat alasan dan pertimbangannya sendiri.

Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Norma Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU No.24 Tahun 2009) jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia(Perpres No. 63 Tahun 2019) sudah sangat jelas, tegas, dan bersifat imperatif. Itu bisa terbaca dalam kata wajib terkait dengan perjanjian yang melibatkan “…lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.

Perjanjian yang dibuat dalam bahasa asing dengan perjanjian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia harus memiliki makna yang sama satu sama lain. Harus pula dibuat pada waktu bersamaan ketika perjanjian itu ditandatangani para pihak. Apabila suatu perjanjian dibuat hanya dalam bahasa asing—tanpa disertai dengan terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia—maka menurut pendapat saya perjanjian tersebut adalah “batal demi hukum”.

Perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yakni syarat kausa yang halal dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019.

Mahkamah Agung sudah pernah mengadili kasus semacam itu. Sebut saja Perkara No.1572 K/Pdt/2015 (PT Bangun Karya vs. Nine AM Ltd), Perkara No.601 K/Pdt/2015 (PT. Bangun Karya vs. Nine AM Ltd), dan Perkara No.3395 K/Pdt/2019 (PT Jasa Angkasa Semesta vs. PT Gatari Air Service). Ketiganya secara konsisten menyatakan yang sama. Perjanjian yang salah satu pihaknya lembaga swasta Indonesia namun perjanjiannya hanya dibuat dalam bahasa asing—tidak disertai Bahasa Indonesia—maka batal demi hukum.

Putusan-putusan tadi bernilai sebagai landmark decision karena yang pertama kali dijatuhkan terkait batalnya perjanjian yang dinilai melanggar UU UU No.24 Tahun 2009. Artinya, dapat digunakan sebagai referensi bagi hakim lain apabila mengadili perkara serupa.

Isi SEMA No. 3 Tahun 2023 pada Sub 1 Perdata Umum—yang dikutip di awal tulisan ini—menurut pendapat saya bertentangan dengan syarat kausa yang halal di Pasal 1320 BW jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019. Klausa pengecualian dalam rumusan itu juga perlu jadi catatan tersendiri yaitu, “…kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak”.

Menurut pendapat saya, klausa itu sangat berlebihan dan sama sekali tidak mendasar. Syarat kausa yang halal di Pasal 1320 BW jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019 sama sekali tidak memberi syarat iktikad tidak baik dari salah satu pihak dalam pembuatan perjanjian hanya dalam bahasa asing.

Kata wajib jelas mengandung makna sebagai keharusan yang tidak dapat disimpangi—dengan dalih dan alasan apa pun—termasuk dengan cara “dipelintir” menambahkan persoalan iktikad tidak baik. Menurut pendapat saya, Mahkamah Agung telah membuat tafsir baru dengan menambahkan hal baru—yang sesungguhnya tidak diperlukan—terhadap norma yang rumusannya sudah sangat jelas, tegas, dan imperatif.

Sesuai dengan teori interpretasi, rumusan ketentuan yang sudah sangat jelas tidak perlu ditafsirkan lain. Apalagi penafsiran itu menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang dengan menambahkan hal baru di luar dari maksud pembentuk undang-undang.

Bukankah telah dikenal dan berlaku prinsip universal Presumptio Iures et de Iure bahwa setiap orang “dianggap tahu” adanya hukum dalam hal ini undang-undang. Jadi, setiap pembuatan perjanjian yang para pihaknya tunduk pada sistem hukum berbeda pun demikian. Masing-masing pihak dianggap tahu—dan memang harus tahu—bagaimana pengaturan hukum negara dari mitra perjanjian, termasuk konsekuensi hukum terhadap perjanjian yang akan dibuat.

Saya berasumsi bahwa rumusan SEMA No. 3 Tahun 2023 sekadar memberikan alasan dan pintu masuk bagi pengadilan. Tujuannya mungkin untuk menolak gugatan pembatalan perjanjian dengan alasan tidak ditemukan iktikad tidak baik dalam pembuatan perjanjian yang hanya dengan bahasa asing.

Adanya tekanan pelaku bisnis asing—sebagaimana putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah disebutkan di atas—baik secara langsung maupun tidak langsung turut mendorong lahirnya rumusan SEMA No. 3 Tahun 2023. Dugaan ini rasanya cukup sulit untuk dinafikan. Sayangnya hal itu dilakukan dengan cara mengorbankan prinsip kedaulatan hukum Indonesia yang seharusnya dijaga dan ditegakkan oleh pengadilan. 

*)Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S., Guru Besar Hukum Perdata Universitas Nasional.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait