Melihat Tren Perkembangan Fashion Advokat di Indonesia
Utama

Melihat Tren Perkembangan Fashion Advokat di Indonesia

Dari standar tidak berdasi dan tidak berjas, berlanjut ke standar safari pada tahun 1970-an, sampai mulai standar berdasi dan jas pada pertengahan 1980-an. Bagi mayoritas advokat berlaku “dress like a lawyer” dengan segala variasinya, kecuali advokat yang sangat sukses.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Founding Partner Kantor Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) Mohamed Idwan Ganie. Foto: lgsonline.com
Founding Partner Kantor Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) Mohamed Idwan Ganie. Foto: lgsonline.com

Hubungan yang terjalin antara seorang advokat dengan klien biasanya dilandasi/diawali rasa saling percaya (trust). Bagi seorang advokat, memberikan kesan yang positif kepada klien tentu menjadi hal yang krusial, salah satunya cara berpakaian. Berpakaian rapih dan mencerminkan profesionalitas seorang advokat menjadi satu hal penting yang patut diperhatikan.

Berkaca dari negara-negara barat, asal-usul cara berpakaian advokat bermula dari abad pertengahan (abad 5-15 masehi). Dimana baik advokat maupun hakim seringkali mengenakan jubah yang merepresentasikan posisi mereka sebagai profesi yang dihormati (officium nobile). Tetapi di abad ke-18, profesional elit Eropa termasuk para advokat mulai menolak pernak-pernik hiasan bunga yang biasa ada pada pakaian abad pertengahan dan lebih memilih pakaian yang praktis.

“Itu (tren fashion advokat) berevolusi menjadi simbol pencerahan dalam arti kepraktisan, ketenangan, ketekunan yang menjadi nilai baru pada waktu itu untuk kalangan elit. Kemudian seiring dengan profesi hukum mulai menjadi lebih diverse (beragam), standar dari professional dress menjadi berubah,” ujar Professor Stanford Law School Richard Thompson Ford dalam wawancaranya pada unggahan kanal Youtube Bloomberg Law, Rabu (4/5/2022) lalu.

Baca Juga:

Richard memandang tren fashion dari para advokat terus berevolusi seiring berkembangnya zaman. Dewasa ini bahkan dijumpai perbedaan cara berpakaian advokat antara suatu daerah dengan daerah yang lainnya. Menurutnya, penting bagi advokat mengenakan pakaian untuk bekerja yang secara psikologis dirasa nyaman oleh mereka. “Itu menjadi sesuatu yang harus kita pikirkan dalam hal implikasinya terhadap inklusivitas dari profesi dan untuk mobilitas sosial serta kesetaraan secara umum,” kata dia.

Sementara itu, di Indonesia sendiri, terdapat perkembangan gaya berpakaian advokat yang juga berubah-ubah dari waktu ke waktu. Salah satu Founding Partner Kantor Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) Mohamed Idwan Ganie berbagi pengetahuannya seputar bagaimana transisi tren fashion (gaya berpakaian) para advokat Indonesia dari era 1970-an hingga abad ke-21 kini.

“Ini khususnya di Indonesia, di luar negeri agak beda. Saya menjalankan profesi lawyer di Jakarta sejak tahun 1977. Saya saksikan dari standar no tie dan no suit dan berlanjut ke standar safari di 70s dan mulai standar berdasi dan akhirnya juga ber-suit mulai di mid-eighties. Ada lawyer terkenal seperti (Alm) Adnan Buyung Nasution yang jadi trend setter untuk lawyer lain di periode itu,” terang Idwan kepada Hukumonline, Kamis (19/5/2022).

Hukumonline.com

(Alm) Adnan Buyung Nasution semasa hidup. Foto: ABNP Law Firm. 

Ia menjelaskan “Abang Buyung”, panggilan akrab (Alm) Adnan Buyung Nasution kala itu, mengenakan setelan safari dengan memakai kemeja dan dasi di dalamnya. Gaya kancing kemeja paling atas biasa dibiarkan terbuka serta dasi yang tidak diikat ketat. “Mungkin simbolik anti-establishment atau mungkin juga karena belum semua tempat pakai AC saat itu dengan pakaian berlapis seperti itu. Banyak juga lawyers yang tiru gaya Abang Buyung,” kata dia.

Lalu pada pertengahan 1980, mulai banyak advokat yang mengenakan batik. Idwan menerka mungkin game change yang terjadi ialah batik karya (Alm) Iwan Tirta yang merupakan seorang sarjana hukum, mantan advokat, serta mantan dosen hukum internasional waktu itu. Untuk tren batik sendiri menjadi andalan yang terus bertahan hingga saat ini, bahkan di masa mendatang.

Sebagai pilihan yang paling ‘aman’, tiap batik tetap memiliki sejumlah perbedaan dalam hal kualitas, potongan, dan bahan. Meski pada akhirnya tetap akan kembali lagi pada ‘taste and style’ dari advokat yang bersangkutan serta kesan yang hendak disampaikan kepada klien dan lingkungan. Namun pemakaian batik bagi kalangan advokat ketika bertugas hanya berlaku khusus di Indonesia karena di luar negeri bisa saja batik dianggap busana yang kurang formal.

How and what to wear adalah bagian yang tak terpisahkan dari personal. Dulu personal branding tidak penting di profesi lawyer, sedangkan sekarang semakin penting. Lawyer harus memorable sampai ke cara berpakaian tapi in a good way pastinya,” ujar Idwan.

Hukumonline.com

Advokat senior Juniver Girsang.

Bukan tanpa alasan, terhitung dari 40 detik ketika pertama kali bertemu akan dapat membentuk persepsi seseorang yang dalam hal ini klien terhadap advokat. Apalagi 40 detik dirasa terlalu singkat untuk membuktikan kompetensi profesional advokat. Sehingga dimulai dari penampilan yang sekiranya dapat memberikan kesan yang positif menjadi penting.

Berbeda dengan profesi bidang lain, cara berpakaian advokat sepatutnya dapat mendukung kompetensi profesional dan status khusus officium nobile yang disandang. “Tetap. Tidak boleh terlalu fashionista atau bling, sehingga bisa counter productive. Banyak lawyers lupa trust is my bond sebagai bagian dari pesan penampilan secara keseluruhan,” kata dia.

Hukumonline.com

Founding Partner Kantor Hukum SSEK Indonesian Legal Consultants Ira Andamara Eddymurthy.  

Meski demikian, sebetulnya di dunia profesi advokat terdapat pengecualian cara berpakaian. Terdapat beberapa advokat yang tidak berpakaian “like a lawyer”. Biasanya advokat yang sudah amat sukses dan telah bekerja keras sampai orang-orang tidak lagi peduli dengan cara berpakaian advokat yang bersangkutan. “Hal tersebut berlaku bagi segelintir kalangan advokat, tapi tetap bagi mayoritas advokat berlaku “dress like a lawyer” dengan segala variasinya.”

Tags:

Berita Terkait