Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif
Kolom

Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif

Sejatinya sebagai implementasi amanat KUHP Nasional.

Bacaan 9 Menit

Idealnya, penerapan keadilan restoratif di tingkat kepolisian semestinya melibatkan penuntut umum sebagai pihak yang turut terlibat dalam proses perdamaian yang dilakukan oleh korban dan pelaku. Sebaliknya, penerapan keadilan restoratif di tahap penuntutan, pihak penyidik pun dilibatkan sebagai pihak yang menyaksikan proses perdamaiannya.

Karenanya, dalam proses keadilan restoratif di tiap tahap perlu melibatkan dan keterpaduan penyidik dan penuntut umum sebagai sebagai bentuk pengawasan horisontal. Soalnya, SP3 dan SKP2 masih berpotensi rawan diuji melalui mekanisme praperadilan. Sebab, terdapat Pasal 77 huruf a KUHAP yang menyebutkan, “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.

Sedangkan para pihak yang dapat menempuh upaya praperadilan diatur dalam KUHAP. Pasal 80 KUHAP menyebutkan, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”. Dengan demikian, penerapan keadilan restoratif di tingkat Kepolisian maupun Kejaksaan sejatinya masih rawan diuji melalui praperadilan oleh masyarakat, bahkan penyidik maupun penuntut umum.

Melihat ketentuan Pasal 77 dan 80 KUHAP di atas, maka dengan kata lain secara yuridis, penyelesaian perkara melalui mekanisme RJ saat ini masih belum final dan masih dapat diajukan upaya praperadilan baik oleh penyidik kepada penuntut umum dan penuntut umum kepada penyidik.

Aturan yang menjadi rujukan kedepan

Ke depannya, konsekuensi penyelesaian perkara melalui mekanisme RJ harus terintegrasi antara penyidik dan penuntut umum melalui pengaturan dalam sebuah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 132 ayat (1) huruf g UU 1/2023 menyebutkan, “Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:…g. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;”. Sementara dalam penjelasan Pasal 132 ayat (1) menyebutkan, “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan penuntutan adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan”. Dengan demikian, proses penyidikan merupakan satu kesatuan dengan penuntutan yang tidak terpisahkan.

Selain itu, untuk menghindari adanya permasalahan perbedaan tindak pidana yang dapat dilakukan penerapan mekanisme RJ, maka perlu dibuat persyaratan dan pembatasan dalam melakukan RJ.

Dalam Pasal 70 UU 1/2023, sebenarnya telah menegaskan sedapat mungkin pidana penjara tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan: terdakwa anak, telah berumur 75 tahun, baru pertama melakukan tindak pidana (TP), kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar, telah membayar ganti rugi kepada korban, tidak menyadari bahwa TP yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar, TP terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain dan sebagainya.

Selain itu, ayat 2 dari pasal 70 di atas tentunya dapat dijadikan Batasan tindak pidana apa saja yang tidak dapat diterapkan RJ yaitu: TP yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, TP yang diancam dengan pidana minimum khusus, TP tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau TP yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Bahkan pada Pasal 71 nya, UU 1/2023 ini lebih menegaskan apabila TP yang hanya diancam pidana penjara di bawah 5 tahun dan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda dengan syarat bahwa TP tersebut dilakukan tanpa korban, korban tidak mempermasalahkan dan bukan pengulangan tindak pidana.

Melihat situasi tersebut, tak dapat ditampik keberadaan UU 1/2023 telah mengakui adanya penyelesaian perkara di luar proses peradilan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 132 ayat (1) huruf g. Selain itu, penerapan keadilan restoratif pun mereformasi criminal justice system yang mengedepankan pemidanaan menjadi keselarasan antara kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Dengan begitu di masa mendatang, terjadi pergeseran konsep kewajiban untuk menuntut (compulsory prosecution) yang dianut oleh KUHAP ke arah kebijakan penuntutan (discretionary prosecution) melalui pendekatan keadilan restoratif yang dianut oleh UU 1/2023. Tak hanya itu, mengacu Pasal 30C huruf d UU No.11 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terdapat kewenangan baru bagi jaksa.

Yakni, jaksa atau penuntut umum diberi kewenangan tambahan sebagai mediator penal. Karenanya, penyelesaian penanganan perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif dapat difungsikan sebagai pelaksanaan tugas dan kewenangan baru tersebut. Sementara dalam bagian penjelasan umum UU 11/2021 pada pokoknya menyebutkan, keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan tak saja diukur dari banyaknya perkara yang disodorkan ke pengadilan. Namun, banyaknya penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai bentuk implementasi keadilan restoratif juga menjadi barometer.

Berdasarkan sejumlah alasan itulah, DPR mesti bergerak cepat melihat kondisi di lapangan. Karenanya, DPR dengan kewenangannya dapat menginisiasi terwujudnya suatu UU yang mengatur penyelesaian perkara di luar proses peradilan sebagai tindak lanjut dari pengaturan Pasal 132 ayat (1) huruf g UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.

*)Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM., Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan STIH Adhyaksa.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait