Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak
Utama

Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak

Beragam persoalan yang muncul dalam penyelengaraan pemilu serentak perlu dievaluasi secara “radikal”. Adanya pengujian konstusionalitas “pemilu serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bisa menjadi bahan evaluasi bersama.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Effendi, pemilu serentak seharusnya tanpa presidential threshold. Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva pernah bercerita kepada dirinya pada 2017 lalu bahwa sebetulnya saat para hakim MK memutuskan pemilu serentak, mereka sepakat tidak ada presidential threshold. Lalu, Effendi bertanya, “Kenapa tidak dituliskan saja bahwa tidak ada presidensial threshold dalam putusan MK tentang pemilu serentak?” Hamdan menjawab “kami pikir tidak akan ada logikanya memasukkan presidential threshold dalam pemilu serentak.”

 

“Jadi, disitulah masalahnya, tidak ditulis oleh MK. Kalau ditulis oleh MK, maka tidak akan ‘terbelah’ bangsa kita seperti ini,” kata Effendi Gazali kepada Hukumonline.

 

Bagi Effendi, pemilu serentak harus memiliki dua tujuan. Pertama, melaksanakan dengan konsisten original intent Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bahwa pemilu harus serentak. Sebab, perlu diingat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak pernah diubah. “Pemilu serentak tanpa presidential threshold karena para pendiri bangsa dan pembentuk UUD 1945 ingin seluruh putra putri terbaik bangsa banyak yang bisa maju sebagai capres dan cawapres.”

 

Meski begitu, Effendi berpendapat pemilu serentak tetap bisa dijalankan yakni Pemilu Nasional Serentak dan Pemilu Daerah Serentak tanpa presidential threshold untuk menjalankan original intent pendiri negara dan pembentuk UUD 1945. “Ke depan, seharusnya MK dapat mendefinisikan arti keserentakan apa itu, belajar dari evaluasi Pemilu Serentak 2019. Sebab, kita menganut asas the living constitution, misalnya MK membenarkan interpretasi pemilu nasional serentak dan pemilu daerah serentak,” ujarnya.

 

Bahkan, lanjutnya, ada juga yang berpendapat keserentakan dalam pemilu itu adalah pencalonan atau pendaftaran calon ke KPU yang serentak, jadi bersamaan antara capres dan caleg. Tetapi pelaksanaannya bisa tetap dipisah. “Yang penting oligarki dan politik transaksional dipotong dan tidak ada presidential threshold,” pintanya.

 

Dia juga menyoroti manajemen Pemilu Serentak 2019 yang dinilianya kewalahan. ia menyarankan agar ke depan KPU harus menyiapkan manajemen pemilu yang tertib dengan melibatkan semua ahli. Ia pun mengusulkan pemungutan suara dapat dilakukan dengan e-voting. “Ini DPR sudah studi banding kemana-mana kok tidak ketemu e-voting yang murah dan bisa dipercaya,” kata dia.

 

Seperti di USA, ia mencontohkan voting tetap pakai surat suara yang dicoblos, tapi langsung tersimpan dalam mesin dan langsung bisa di-scan dan dibaca, hasil pemilihanya pun bisa di-print dan disimpan oleh pemilih. “Dan, tidak perlu mencontoh Jerman yang semua kertas suara ada dalam mesin, sehingga dapat menyebabkan kehilangan dalam big data.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait